Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif
EPISTEMOLOGI KEILMUAN
INTEGRATIF-INTERKONEKTIF
M. AMIN ABDULLAH:
KAITAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN UMUM DAN PENDIDIKAN AGAMA
A. Biografi dan Karya M.
Amin Abdullah
1. Masa Kecil dan
Pendidikan
Nama aslinya adalah Muhammad Amin Abdullah, lahir di desa Margomulyo, Tayu,
kabupaten Pati, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juli 1953, atau 62 tahun yang lalu.
Terlahir dari keluarga yang sederhana tapi bersahaja, sejak kecil beliau telah
memperlihatkan kecerdasannya, kemudian orang tuanya mengirim beliau untuk
belajar ke Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa timur. Di
sana beliau menimba ilmu dengan tekun hingga kemudian sampai menamatkan
Kulliyat Al-Mua'allimin Al-Islamiayah (KMI), Pesantren Gontor pada tahun 1972
dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam
(IPD) pada 1977 di Pesantren yang sama, kemudian beliau melanjutkan kuliahnya
pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan
Perbandingan Agama pada tahun 1982.[1]
Keinginannya untuk kuliah atau sekolah ke luar negeri sedari kecil akhirnya
tercapai, sebab pada tahun 1985 atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah
Republik Turki, Amin Abdullah mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di
Turki dengan mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Departement of
Philosophy, Faculty of Art And Sciences, Middle East Technical University
(METU), Ankara, Turki (1990). Beliau kemudian menulis disertasi dengan judul
The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant. Disertasi ini
kemudian diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Selain itu
beliau juga pernah mengikuti program Post-Doctoral di McGill University Kanada
pada tahun 1997-1998.
Selama masih menjadi mahasiswa, Amin Abdullah sangat aktif diberbagai
organisasi, diantaranya beliau pernah menjabat ketua Perhimpunan Pelajar
Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987, sambil memanfaatkan masa libur musim panas,
pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia, kemudian
pernah juga menjabat sebagai Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan
1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989) Arab Saudi. Sekarang masih menjabat
sebagai dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin dan juga pengajar pada Program
Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Sunan
Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Program Magister pada UIN Sunan
Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Program
Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Pada tahun 1998-2001
menjabat sebagai Purek I (bidang Akademik) pada IAIN Sunan Kalijaga. Pada Januari
1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam ilmu Filsafat. Dari tahun 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga.
Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode
kedua.[2]
Dalam organisasi kemasyarakatan, dia pernah menjabat Ketua Divisi Ummat,
ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1991-1995. Setelah Muktamar
Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh tahun 1995, diberi amanat sebagai Ketua
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, pimpinan Pusat Muhammadiyah
(1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah
yakni wakil ketua (2000-2005).
2. Karya-Karya Ilmiah
Sebagai seorang akademisi, disamping kesibukannya
mengajar di berbagai Universitas, Amin Abdullah juga aktif menulis, hal ini
dapat dilihat dari beberapa buku yang pernah dia tulis yang dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, diantaranya
adalah Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies
(Yogyakarta) dan beberapa jurnal keilmuan keislaman yang lain. Di samping itu,
dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional
yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan
Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992: tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah
Republik Turki, Oktober 1993[3]
dan masih banyak yang lainnya.
B. Epistemologi Keilmuan
Integratif-Interkonektif
Hingga kini,
masih kuat anggapan pada masyarakat luas bahwa antara "agama" dan
"ilmu" adalah dua kekuatan yang tidak dapat disatukan. Kedua entitas
ini bagi mereka memiliki wilayah sendiri yang terpisah satu sama lainnya, hal
ini juga terlihat dari berbagai aspek, baik dari segi kriteria kebenaran, peran
yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan pada
institusi penyelenggaranya. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa ilmu tidak
mempedulikan agama, begitu juga sebaliknya agama tidak memperdulikan ilmu.
Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di
Indonesia sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan
dirasakan oleh masyarakat luas.[4]
Jika kita
kembali pada sejarah masa lalu, dalam sejarah kependidikan Islam disatu sisi,
telah berkembang pola keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang
dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun.
Namun pada sisi lain, hal ini berhadapan dengan pola keilmuan agama yang
spesifik-parsialistik yang dikembangkan oleh para ahli hadits dan ahli fikih.
Keterpisahan antara keduanya inilah yang berakibat pada rendahnya mutu
pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya.
Jika kita perhatikan saat ini, kemajuan dan perkembangan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum, secara tidak langsung telah terlepas dari ikatan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia pada satu pihak, sementara pada pihak lain, penekanan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan terjadi pada Perguruan Tinggi Agama (baca: Islam). Imbasnya adalah keduanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-keagamaan di tanah air.
Jika kita perhatikan saat ini, kemajuan dan perkembangan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum, secara tidak langsung telah terlepas dari ikatan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia pada satu pihak, sementara pada pihak lain, penekanan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan terjadi pada Perguruan Tinggi Agama (baca: Islam). Imbasnya adalah keduanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-keagamaan di tanah air.
Tercermin di
sini bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Umum dan
ilmu-ilmu agama yang nota bene dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Agama secara
terpisah, tidak mampu memecahkan banyak persoalan, serta mengalami kemandekan
dan kebuntuan, tidak mampu memberikan alternatif-alternatif yang lebih
mensejahterahkan masyarakat, selain itu dipenuhi oleh bias-bias kepentingan
(keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban), yang sangat
jelas terlihat.[5]
Disamping
dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus
dihadapi oleh masyarakat adalah perkembangan zaman yang demikian pesat.
Berbagai perubahan di era global memunculkan kompleksitas persoalan. Maka dari
itu, tantangan di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari sistem
pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya ingin
sekedar survive ditengah persaingan global yang akan semakin tajam dan
ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran
mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan
suatu keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari
luar seluruh perkembangan yang terjadi.[6]
Dari latar
belakang inilah diperlukannya sebuah gerakan rapprochment (yakni
kesedian untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara
dua kubu keilmuan. Gerakan rapprochment secara sederhana dapat disebut
sebagai sebuah gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan yang
merupakan sebuah keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi
perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada milenium
ketiga, serta tanggungjawab kemanusian bersama secara global dalam mengelola sumber
daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas sebagai khalifah Allah fi al-ardh.[7]
Gerakan
inilah yang ditawarkan oleh M. Amin Abdullah dalam rangka memberikan solusi
atas permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang ini. Beliau menawarkan
sangat perlunya integratif-interkonektif antara dua keilmuan yang selama ini
terpisah dan berjalan pada jalurnya masing-masing. Penulis setuju dengan Prof.
Dr. Amril Mansur, MA[8]
yang mengatakan bahwa M. Amin Abdullah sengaja mengiringi “integrasi” dengan “interkoneksi”
dengan alasan bahwa konsep integrasi saja belum cukup mampu menyelesaikan
perbedaan yang fundamental yang ada dalam agama yang akan diformat dalam integrasi. Untuk mengatasi problem seperti inilah konsep
“interkoneksi” ditampilkan mengiringi “integrasi”.
Paradigma
integrasi keilmuan memberikan jalan untuk menyudahi ketegangan-ketegangan yang
terjadi antara kedua bidang keilmuan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang
satu kedalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi
normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk kewilayah
historisitas-profanitas atau sebaliknya membenamkan dan meniadakan seluruh sisi
historisitas keberagamaan Islam ke wilayah
normativitas-sakralitas tanpa reserve. Dalam artian menyatukan antara
kedua keilmuan yang sudah memisahkan diri dari satu dengan yang lainnya.
Sedangkan paradigma interkonektif berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas
fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangun keilmuan
apapun, baik keilmuan agama, sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat
bediri sendiri. oleh sebab itu, kerjasama, saling tegur sapa, saling
membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan
akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang
dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Paradigma
interkoneksitas secara epitemologi merupakan jawaban atau respon terhadap
kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama
berabad-abad dalam peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan
pendidikan agama, kemudian ditambah lagi dengan berdirinya Departemen
Pendidikan Nasional dan Departemen Pendidikan Agama di awal kemerdekaan RI yang
semakin terlihat menonjol keterpisahan antara keduanya. Secara aksiologi,
paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia
beragama dan ilmuan yang baru, lebih terbuka, mampu membuka dialog, kerjasama,
transparan, dan dipertanggungjawabkan secara publik serta berpandangan kedepan dan secara ontologis disebutkan bahwa hubungan antar berbagai disiplin keilmuan
menjadi semakin terbuka meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara
budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks (hadlarah
al-nash), dan budaya pendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni
ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman (hadlarah al-ilm), serta budaya
pendukung keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah) masih saja ada.
Hanya saja, cara berpikir ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini
yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya dalam birokrasi
pendidikan, baik pada level prodi, jurusan maupun fakultas, dan terutama dalam
diri ilmuan, dosen dan akademisi dalam mengkaji, menganalis persoalan, program
penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan kurikulum, silabi maupun
proses dan prosedur perkualihan serta evaluasi pembelajarannya yang harus
dipegang teguh dan dikembangkan secara terus menerus oleh para pelaku
transformasi IAIN ke UIN.[9]
Pemikiran
inilah yang mendorong adanya gagasan tentang pengembangan IAIN sebagai pilot
project menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), dibawah Departemen Agama
Republik Indonesia yang mencakup bukannya hanya fakultas-fakultas agama, tetapi
juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral keagamaan
yang integralistik. Dalam konsep ini, fakultas-fakultas agama tetap
dipertahankan seperti yang ada sekarang, namun perlu dikembangkan kurikulumnya yang
sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era global dan
diperkuat tenaga pengajar atau dosen-dosennya dengan berbagai metode dan
pendekatan baru dalam Islamic studies, humanities, dan ilmu-ilmu sosial,
sedangkan dalam fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk wider mandete
maupun Universitas perlu dibekali muatan-muatan spriritualitas dan moral
keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum,
dan bukannya saparated curriculum seperti yang berjalan selama ini.
Pengembangan
IAIN ini diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan.
Prorgam reintegrasi epistemologi keilmuan dan implikasinya dalam proses
belajar mengajar secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara
ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan selama ini.[10]
Jaring
Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik dalam UIN
Untuk
menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, Amin Abdullah membuat
sebuah ilustrasi yang dikenal dengan jaring laba-laba keilmuan. Jaring
laba-laba ini merupakan konsep yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, kemudian Amin
Abdullah mencoba meneruskan konsep tersebut dengan sedikit memberi beberapa
ilustrasi tambahan disana-sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang di
IAIN selama ini dan upaya pengembangannya lebih lanjut secara integratis di
masa depan.
Agama dalam
arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan,
diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara
global. Melalui Al-Qur'an, agama memberikan petunjuk etika, moral, akhlak,
kebijaksanaan serta dapat dijadikan sebagai teologi ilmu serta grand theory
ilmu.[11]
Agama memang
mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit
pengetahuan, namun agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai
satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, sumber
pengetahuan itu ada dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan
pengetahuan yang berasal dari manusia. Maka perpaduan antara keduanya disebut
teoantroposentris.
Bagi Amin
Abdullah, modernisme dan sekularisme sebagai hasil dari turunannya, yang
menghendaki diferensiasi yang ketat diberbagai bidang kehidupan sudah tidak
sesuai lagi dengan semangat zaman, artinya bahwa dengan spesialisasi dan
penjurusan yang sangat sempit dan dangkal akan mempersempit jarak pandang atau
horizon berfikir. Dalam konteks ini, pada peradaban pasca modern perlu adanya
perubahan, perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi
agama dan puncaknya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Jika
deferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan
lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan
sektor-sektor diluar agama, termasuk antara agama dan ilmu.[12]
Menurut analisa penulis, memang benar adanya bahwa agama itu tidak menghendaki
adanya pemisahan antara ilmu umum dengan ilmu agama, hal ini diperkuat dengan
adanya ayat yang memerintahkan manusia untuk menyeimbangkan antara kehidupan
dunia dengan akhirat, tersirat makna di dalamnya penyatuan antara ilmu umum
dengan ilmu agama. Contoh bahwa sebenarnya antara keduanya tidak bisa
dipisahkan adalah adanya istilah ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi
keilmuan (howness), dan aksiologi keilmuan (whyness) dalam ilmu umum. Dimana
ketiga aspek ini jauh sebelumnya telah ditekankan oleh agama dengan memberikan
tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah: benar, salah), bagaimana ilmu
diproduksi (hajiyyah: baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyyah:
manfaat, merugikan). Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa sebenarnya
ilmu-ilmu umum atau sekuler yang sekarang berkembang merupakan temuan dan
turunan yang didapat dan diambil dari agama Islam sendiri.
Dalam
pemahaman jaring laba-laba keilmuan yang ditawarkan oleh Amin Abdullah, akan
dihasilkan paradigma keilmuan baru yang menyatukan dan menggabungkan wahyu Tuhan
dan temuan fikiran manusia. Hal ini tidak akan mengakibatkan pengecilan peran
Tuhan (Sekuralisme) atau mengucilkan manusia dari dirinya sendiri, dari
masyarakat sekitar atau lingkungan hidup sekitarnya. Namun konsep reintegrasi epistemologi
keilmuan ini diharapkan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme-ekstrim
dan fundamentalisme-negatif agama-agama yang radikal dalam banyak hal.
Kita dapat
melihat contoh ilmu yang bercorak integralistik dalam ilmu ekonomi syariah
misalnya, yang sudah nyata adanya praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan
temuan pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha
agrobisinis dan lain-lain. Agama dalam hal ini menyediakan etika dalam perilaku
ekonomi diantaranya ada bagi hasil (al-Mudharabah), dan kerja sama
(al-musyarakah). Di sini terlihat adanya proses objektifikasi dari etika agama
menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi semua orang, bahkan yang non
agama dan anti agama sekalipun. Dari orang yang beriman untuk seluruh manusia
(rahmatan li al-'amin).[13]
Jadi, menurut
Amin Abdullah jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistik, akan
memperlihatkan bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu
luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern
karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang
kehidupan di era informasi-globalisasi. Disamping itu, akan terlihat sosok
manusia beragama (Islam) yang terampil dan cekatan dalam menangani dan
menganalisa isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era
modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang
diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social
science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segala-galanya, bahwa
dalam setiap langkah yang akan ditempuh, selalu dibarengi landasan etika moral
keagamaan objektif dan kokoh, sebab keberadaan Al-Qur'an dan Sunnah yang
dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan
hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan
keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraaan manusia secara bersama-sama
tanpa memandang latar belakang entitas, agama, ras maupun golongan.[14]
Harapan
kedepan bahwa pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas
keagamaan dituntut untuk memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti
sosiologi, psikologi, antropologi, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi,
politik, hubungan internasional, hukum, dan peradilan serta lainnya.[15]
Dibawah ini
bisa dilihat horizon jaring laba-laba keilmuan teoantroposentrik-integralistik
dalam Universitas Islam Negeri.(Skip)
Skema
tersebut menunjukan bahwa inti (hard core) keilmuan adalah al-Qur’an dan
al-Sunnah sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut
sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak dapat dirubah-rubah.
Sedangkan wilayah sabuk pengaman masih ada kemungkinan untuk dikuatkan. Amin
Abdullah menilai bahwa kondisi sekarang menunjukkan bahwa radius daya jangkau
aktivitas keilmuan dan terutama pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama,
khususnya IAIN dan STAIN diseluruh Indonesia hanya terfokus pada lingkar 1 dan
lingkar 2 (Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqih, Tafsir, Lughah).
Itupun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak pendekatan keilmuan
humaniora klasik. IAIN pada umumnya sekarang ini belum memasuki diskusi
ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer seperti yang tergambar pada lingkar
2 (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan berbagai teori serta pendekatan
yang ditawarkannya).[16]
Akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara
ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan
analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer, bahkan juga ilmu-ilmu
alam. Sedangkan lingkar 3 dan 4 belum sama sekali tersentuh. Jaring laba-laba
ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat
yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Lingkar 1
dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari
“tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash
keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy
sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis
pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah
atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada
paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh
“pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang
amat sangat beranekaragam.[17]
Mengutib
pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Amril Mansur, MA., bahwasanya
pendekatan integratif-interkonektif yang bermuatan misi dan visi transpormatif
progresif dan emansipatoris akan dapat terimplementasikan dengan menerapkan
tiga pirantinya yang saling kerja sama, yaitu Hadharat an-Nas, Hadharat
al-‘Ilm dan Hadharat al-Falsafah.[18]
Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan,
seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak
lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah
sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah
al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak
terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih
jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah
al-‘ilm.[19]
Disamping itu, penerapan tiga
piranti ini juga perlu didukung oleh tiga model berpikir yang telah akrab
dengan budaya akademik Islam yaitu Nalar Bayani, Nalar Burhani dan
Nalar Irfani. Ketiga piranti dan model ini dalam implementasi pendekatan
integratif-interkonektif perlu terus dibangun dan disinergikan.[20]
Nalar Bayani adalah pencarian kebenaran yang bersumber pada otoritas teks
semata dengan metode ijtihadiyah/qiyas. Nalar Burhani adalah pencarian
kebenarannya bersumber pada realitas alam, sosial dan humanitas. Sedangkan
Nalar ‘Irfani adalah menempatkan pengalaman sebagai sumber kebenaran.
C. Implikasinya terhadap
Pendidikan Umum dan Pendidikan Agama
Adapun implikasi epistemologi keilmuan (integratif-interkonektif)
ini akan menyatukan ilmu agama (Islam) dengan ilmu umum (seperti ilmu-ilmu
sosial, humaniora dan kealaman). Sebab paradigma ini meniscayakan perlunya
dialog dan kerjasama antara ilmu umum dan agama yang dilakukan secara terus-menerus. Semua ini mengindikasikan bahwa pendekatan integritas-interkoneksitas
antar berbagai disiplin ilmu perlu mendapatkan prioritas. Artinya, sekarang bukan
eranya disiplin ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan
intervensi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman. Begitu juga
sebaliknya bukan saatnya lagi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu
kealaman menyendiri, perlu adanya integrasi keilmuan antara keduanya. [21]
Dari sini
dapat kita katakan bahwa, sejak dahulu telah terjadi dis-integrasi ilmu
pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya antar ilmu umum dan ilmu agama.
Melalui paradigma epistemologi keilmuan integratif-interkonektif Amin Abdullah
ingin menghapus dis-integrasi itu seperti yang
dapat kita lihat pada penjelasan tentang jaring laba-laba keilmuan di atas.
Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paradigma
integratif-interkonektif ini sangat bermanfaat dan sangat baik untuk diterapkan
pada dunia pendidikan, khususnya di Indonesia pada saat ini.
Disamping
itu, reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya
dialog dan kerjasama antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama yang lebih
erat di masa yang akan datang. Pendekatan integritas dan interkoneksitas antar
berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan
dikembangkan secara terus-menerus.
0 komentar