Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif


EPISTEMOLOGI KEILMUAN INTEGRATIF-INTERKONEKTIF
M. AMIN ABDULLAH: KAITAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN UMUM DAN PENDIDIKAN AGAMA

A.  Biografi dan Karya M. Amin Abdullah
1.    Masa Kecil dan Pendidikan
Nama aslinya adalah Muhammad Amin Abdullah, lahir di desa Margomulyo, Tayu, kabupaten Pati, Jawa Tengah pada tanggal 28 Juli 1953, atau 62 tahun yang lalu. Terlahir dari keluarga yang sederhana tapi bersahaja, sejak kecil beliau telah memperlihatkan kecerdasannya, kemudian orang tuanya mengirim beliau untuk belajar ke Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa timur. Di sana beliau menimba ilmu dengan tekun hingga kemudian sampai menamatkan Kulliyat Al-Mua'allimin Al-Islamiayah (KMI), Pesantren Gontor pada tahun 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) pada 1977 di Pesantren yang sama, kemudian beliau melanjutkan kuliahnya pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama pada tahun 1982.[1]
Keinginannya untuk kuliah atau sekolah ke luar negeri sedari kecil akhirnya tercapai, sebab pada tahun 1985 atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, Amin Abdullah mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Turki dengan mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Departement of Philosophy, Faculty of Art And Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Beliau kemudian menulis disertasi dengan judul The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant. Disertasi ini kemudian diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Selain itu beliau juga pernah mengikuti program Post-Doctoral di McGill University Kanada pada tahun 1997-1998.
Selama masih menjadi mahasiswa, Amin Abdullah sangat aktif diberbagai organisasi, diantaranya beliau pernah menjabat ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, 1986-1987, sambil memanfaatkan masa libur musim panas, pernah bekerja part-time, pada Konsulat Jenderal Republik Indonesia, kemudian pernah juga menjabat sebagai Sekretariat Badan Urusan Haji, di Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989) Arab Saudi. Sekarang masih menjabat sebagai dosen tetap pada Fakultas Ushuluddin dan juga pengajar pada Program Doktor Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Program Magister pada UIN Sunan Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1998-2001 menjabat sebagai Purek I (bidang Akademik) pada IAIN Sunan Kalijaga. Pada Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam ilmu Filsafat. Dari tahun 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga. Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode kedua.[2]
Dalam organisasi kemasyarakatan, dia pernah menjabat Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh tahun 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah yakni wakil ketua (2000-2005).
2.    Karya-Karya Ilmiah
Sebagai seorang akademisi, disamping kesibukannya mengajar di berbagai Universitas, Amin Abdullah juga aktif menulis, hal ini dapat dilihat dari beberapa buku yang pernah dia tulis yang dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, diantaranya adalah Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keilmuan keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992: tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993[3] dan masih banyak yang lainnya.
B.  Epistemologi Keilmuan Integratif-Interkonektif
Hingga kini, masih kuat anggapan pada masyarakat luas bahwa antara "agama" dan "ilmu" adalah dua kekuatan yang tidak dapat disatukan. Kedua entitas ini bagi mereka memiliki wilayah sendiri yang terpisah satu sama lainnya, hal ini juga terlihat dari berbagai aspek, baik dari segi kriteria kebenaran, peran yang dimainkan oleh ilmuwan maupun status teori masing-masing, bahkan pada institusi penyelenggaranya. Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa ilmu tidak mempedulikan agama, begitu juga sebaliknya agama tidak memperdulikan ilmu. Begitulah sebuah gambaran praktik kependidikan dan aktivitas keilmuan di Indonesia sekarang ini dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat luas.[4]
Jika kita kembali pada sejarah masa lalu, dalam sejarah kependidikan Islam disatu sisi, telah berkembang pola keilmuan yang bercorak integralistik-ensiklopedik yang dipelopori oleh para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan Ibnu Khaldun. Namun pada sisi lain, hal ini berhadapan dengan pola keilmuan agama yang spesifik-parsialistik yang dikembangkan oleh para ahli hadits dan ahli fikih. Keterpisahan antara keduanya inilah yang berakibat pada rendahnya mutu pendidikan dan kemunduran dunia Islam pada umumnya.
Jika kita perhatikan saat ini, kemajuan dan perkembangan ilmu-ilmu sekular sebagai simbol keberhasilan Perguruan Tinggi Umum, secara tidak langsung telah terlepas dari ikatan nilai-nilai moral dan etika kehidupan manusia pada satu pihak, sementara pada pihak lain, penekanan ilmu-ilmu keagamaan dan teks-teks keislaman normatif era klasik yang berdampak pada persoalan penciptaan tenaga kerja terampil dalam dunia ketenagakerjaan terjadi pada Perguruan Tinggi Agama (baca: Islam). Imbasnya adalah keduanya mengalami proses pertumbuhan yang tidak sehat serta membawa dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya, sosial-ekonomi, sosial-politik, dan sosial-keagamaan di tanah air.
Tercermin di sini bahwa ilmu-ilmu sekular yang dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Umum dan ilmu-ilmu agama yang nota bene dikembangkan oleh Perguruan Tinggi Agama secara terpisah, tidak mampu memecahkan banyak persoalan, serta mengalami kemandekan dan kebuntuan, tidak mampu memberikan alternatif-alternatif yang lebih mensejahterahkan masyarakat, selain itu dipenuhi oleh bias-bias kepentingan (keagamaan, ras, etnis, filosofis, ekonomis, politik, gender, peradaban), yang sangat jelas terlihat.[5]
Disamping dikotomi yang tajam antara kedua jenis keilmuan ini, tantangan berat yang harus dihadapi oleh masyarakat adalah perkembangan zaman yang demikian pesat. Berbagai perubahan di era global memunculkan kompleksitas persoalan. Maka dari itu, tantangan di era globalisasi menuntut respon tepat dan cepat dari sistem pendidikan Islam secara keseluruhan. Jika kaum muslimin tidak hanya ingin sekedar survive ditengah persaingan global yang akan semakin tajam dan ketat, tetapi juga berharap mampu tampil di depan, maka reorientasi pemikiran mengenai pendidikan Islam dan rekonstruksi sistem dan kelembagaan merupakan suatu keniscayaan. Umat Islam tidak boleh berpangku tangan dan menonton dari luar seluruh perkembangan yang terjadi.[6]
Dari latar belakang inilah diperlukannya sebuah gerakan rapprochment (yakni kesedian untuk saling menerima keberadaan yang lain dengan lapang dada) antara dua kubu keilmuan. Gerakan rapprochment secara sederhana dapat disebut sebagai sebuah gerakan penyatuan atau reintegrasi epistemologi keilmuan yang merupakan sebuah keniscayaan dan mutlak diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan-perkembangan yang serba kompleks dan tidak terduga pada milenium ketiga, serta tanggungjawab kemanusian bersama secara global dalam mengelola sumber daya alam yang serba terbatas dan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas sebagai khalifah Allah fi al-ardh.[7]
Gerakan inilah yang ditawarkan oleh M. Amin Abdullah dalam rangka memberikan solusi atas permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang ini. Beliau menawarkan sangat perlunya integratif-interkonektif antara dua keilmuan yang selama ini terpisah dan berjalan pada jalurnya masing-masing. Penulis setuju dengan Prof. Dr. Amril Mansur, MA[8] yang mengatakan bahwa M. Amin Abdullah sengaja mengiringi “integrasi” dengan “interkoneksi” dengan alasan bahwa konsep integrasi saja belum cukup mampu menyelesaikan perbedaan yang fundamental yang ada dalam agama yang akan diformat dalam integrasi. Untuk mengatasi problem seperti inilah konsep “interkoneksi” ditampilkan mengiringi “integrasi”.
Paradigma integrasi keilmuan memberikan jalan untuk menyudahi ketegangan-ketegangan yang terjadi antara kedua bidang keilmuan dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu kedalam yang lainnya, baik dengan cara meleburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh masuk kewilayah historisitas-profanitas atau sebaliknya membenamkan dan meniadakan seluruh sisi historisitas keberagamaan Islam ke wilayah normativitas-sakralitas tanpa reserve. Dalam artian menyatukan antara kedua keilmuan yang sudah memisahkan diri dari satu dengan yang lainnya. Sedangkan paradigma interkonektif berasumsi bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangun keilmuan apapun, baik keilmuan agama, sosial, humaniora, maupun kealaman tidak dapat bediri sendiri. oleh sebab itu, kerjasama, saling tegur sapa, saling membutuhkan, saling koreksi dan saling keterhubungan antara disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
Paradigma interkoneksitas secara epitemologi merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama, kemudian ditambah lagi dengan berdirinya Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Pendidikan Agama di awal kemerdekaan RI yang semakin terlihat menonjol keterpisahan antara keduanya. Secara aksiologi, paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, lebih terbuka, mampu membuka dialog, kerjasama, transparan, dan dipertanggungjawabkan secara publik serta berpandangan kedepan dan secara ontologis disebutkan bahwa hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks-teks (hadlarah al-nash), dan budaya pendukung keilmuan faktual-historis-empiris yakni ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu kealaman (hadlarah al-ilm), serta budaya pendukung keilmuan etis-filosofis (hadlarah al-falsafah) masih saja ada. Hanya saja, cara berpikir ilmuan yang membidangi dan menekuni ilmu-ilmu ini yang perlu berubah. Tegur dan saling menyapa antara ketiganya dalam birokrasi pendidikan, baik pada level prodi, jurusan maupun fakultas, dan terutama dalam diri ilmuan, dosen dan akademisi dalam mengkaji, menganalis persoalan, program penelitian, tatap muka perkuliahan, pengembangan kurikulum, silabi maupun proses dan prosedur perkualihan serta evaluasi pembelajarannya yang harus dipegang teguh dan dikembangkan secara terus menerus oleh para pelaku transformasi IAIN ke UIN.[9]
Pemikiran inilah yang mendorong adanya gagasan tentang pengembangan IAIN sebagai pilot project menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), dibawah Departemen Agama Republik Indonesia yang mencakup bukannya hanya fakultas-fakultas agama, tetapi juga fakultas-fakultas umum dengan corak epistemologi keilmuan dan etika moral keagamaan yang integralistik. Dalam konsep ini, fakultas-fakultas agama tetap dipertahankan seperti yang ada sekarang, namun perlu dikembangkan kurikulumnya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat pengguna jasa IAIN di era global dan diperkuat tenaga pengajar atau dosen-dosennya dengan berbagai metode dan pendekatan baru dalam Islamic studies, humanities, dan ilmu-ilmu sosial, sedangkan dalam fakultas-fakultas umum baik dalam bentuk wider mandete maupun Universitas perlu dibekali muatan-muatan spriritualitas dan moral keagamaan yang lebih kritis dan terarah dalam format integrated curriculum, dan bukannya saparated curriculum seperti yang berjalan selama ini.
Pengembangan IAIN ini diharapkan melahirkan pendidikan Islam yang ideal di masa depan. Prorgam reintegrasi epistemologi keilmuan dan implikasinya dalam proses belajar mengajar secara akademik pada gilirannya akan menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama seperti yang telah berjalan selama ini.[10]

Jaring Laba-Laba Keilmuan Teoantroposentris-Integralistik dalam UIN
Untuk menjembatani dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, Amin Abdullah membuat sebuah ilustrasi yang dikenal dengan jaring laba-laba keilmuan. Jaring laba-laba ini merupakan konsep yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, kemudian Amin Abdullah mencoba meneruskan konsep tersebut dengan sedikit memberi beberapa ilustrasi tambahan disana-sini dalam konteks studi keislaman yang berkembang di IAIN selama ini dan upaya pengembangannya lebih lanjut secara integratis di masa depan.
Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan, yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik, sosial maupun budaya secara global. Melalui Al-Qur'an, agama memberikan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan serta dapat dijadikan sebagai teologi ilmu serta grand theory ilmu.[11]
Agama memang mengklaim sebagai sumber kebenaran, etika, hukum, kebijaksanaan dan sedikit pengetahuan, namun agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, sumber pengetahuan itu ada dua macam, yakni pengetahuan yang berasal dari Tuhan dan pengetahuan yang berasal dari manusia. Maka perpaduan antara keduanya disebut teoantroposentris.
Bagi Amin Abdullah, modernisme dan sekularisme sebagai hasil dari turunannya, yang menghendaki diferensiasi yang ketat diberbagai bidang kehidupan sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman, artinya bahwa dengan spesialisasi dan penjurusan yang sangat sempit dan dangkal akan mempersempit jarak pandang atau horizon berfikir. Dalam konteks ini, pada peradaban pasca modern perlu adanya perubahan, perubahan yang dimaksud adalah gerakan resakralisasi, deprivatisasi agama dan puncaknya adalah dediferensiasi (penyatuan dan rujuk kembali). Jika deferensiasi menghendaki pemisahan antara agama dan sektor-sektor kehidupan lain, maka dediferensiasi menghendaki penyatuan kembali agama dengan sektor-sektor diluar agama, termasuk antara agama dan ilmu.[12] Menurut analisa penulis, memang benar adanya bahwa agama itu tidak menghendaki adanya pemisahan antara ilmu umum dengan ilmu agama, hal ini diperkuat dengan adanya ayat yang memerintahkan manusia untuk menyeimbangkan antara kehidupan dunia dengan akhirat, tersirat makna di dalamnya penyatuan antara ilmu umum dengan ilmu agama. Contoh bahwa sebenarnya antara keduanya tidak bisa dipisahkan adalah adanya istilah ontologi (whatness) keilmuan, epistemologi keilmuan (howness), dan aksiologi keilmuan (whyness) dalam ilmu umum. Dimana ketiga aspek ini jauh sebelumnya telah ditekankan oleh agama dengan memberikan tolok ukur kebenaran ilmu (dharuriyyah: benar, salah), bagaimana ilmu diproduksi (hajiyyah: baik, buruk), dan tujuan-tujuan ilmu (tahsiniyyah: manfaat, merugikan). Dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa sebenarnya ilmu-ilmu umum atau sekuler yang sekarang berkembang merupakan temuan dan turunan yang didapat dan diambil dari agama Islam sendiri.
Dalam pemahaman jaring laba-laba keilmuan yang ditawarkan oleh Amin Abdullah, akan dihasilkan paradigma keilmuan baru yang menyatukan dan menggabungkan wahyu Tuhan dan temuan fikiran manusia. Hal ini tidak akan mengakibatkan pengecilan peran Tuhan (Sekuralisme) atau mengucilkan manusia dari dirinya sendiri, dari masyarakat sekitar atau lingkungan hidup sekitarnya. Namun konsep reintegrasi epistemologi keilmuan ini diharapkan dapat menyelesaikan konflik antara sekularisme-ekstrim dan fundamentalisme-negatif agama-agama yang radikal dalam banyak hal.
Kita dapat melihat contoh ilmu yang bercorak integralistik dalam ilmu ekonomi syariah misalnya, yang sudah nyata adanya praktik penyatuan antara wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia. Ada BMI (Bank Muamalat), Bank BNI Syariah, usaha-usaha agrobisinis dan lain-lain. Agama dalam hal ini menyediakan etika dalam perilaku ekonomi diantaranya ada bagi hasil (al-Mudharabah), dan kerja sama (al-musyarakah). Di sini terlihat adanya proses objektifikasi dari etika agama menjadi ilmu agama yang dapat bermanfaat bagi semua orang, bahkan yang non agama dan anti agama sekalipun. Dari orang yang beriman untuk seluruh manusia (rahmatan li al-'amin).[13]
Jadi, menurut Amin Abdullah jaring laba-laba keilmuan teoantroposentris-integralistik, akan memperlihatkan bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi-globalisasi. Disamping itu, akan terlihat sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dan cekatan dalam menangani dan menganalisa isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu-ilmu alam (natural science), ilmu-ilmu sosial (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Di atas segala-galanya, bahwa dalam setiap langkah yang akan ditempuh, selalu dibarengi landasan etika moral keagamaan objektif dan kokoh, sebab keberadaan Al-Qur'an dan Sunnah yang dimaknai secara baru (hermeneutis) selalu menjadi landasan pijak pandangan hidup keagamaan manusia yang menyatu dalam satu tarikan nafas keilmuan dan keagamaan. Semua itu diabadikan untuk kesejahteraaan manusia secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang entitas, agama, ras maupun golongan.[14]
Harapan kedepan bahwa pola kerja keilmuan yang integralistik dengan basis moralitas keagamaan dituntut untuk memasuki wilayah-wilayah yang lebih luas seperti sosiologi, psikologi, antropologi, lingkungan, kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, hubungan internasional, hukum, dan peradilan serta lainnya.[15]
Dibawah ini bisa dilihat horizon jaring laba-laba keilmuan teoantroposentrik-integralistik dalam Universitas Islam Negeri.(Skip)
Skema tersebut menunjukan bahwa inti (hard core) keilmuan adalah al-Qur’an dan al-Sunnah sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman. Inti adalah sesuatu yang final, tidak dapat dirubah-rubah. Sedangkan wilayah sabuk pengaman masih ada kemungkinan untuk dikuatkan. Amin Abdullah menilai bahwa kondisi sekarang menunjukkan bahwa radius daya jangkau aktivitas keilmuan dan terutama pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan STAIN diseluruh Indonesia hanya terfokus pada lingkar 1 dan lingkar 2 (Kalam, Falsafah, Tasawuf, Hadits, Tarikh, Fiqih, Tafsir, Lughah). Itupun boleh disebut hanya terbatas pada ruang gerak pendekatan keilmuan humaniora klasik. IAIN pada umumnya sekarang ini belum memasuki diskusi ilmu-ilmu sosial dan humanities kontemporer seperti yang tergambar pada lingkar 2 (Antropologi, Sosiologi, Psikologi, Filsafat dan berbagai teori serta pendekatan yang ditawarkannya).[16] Akibatnya, terjadi jurang wawasan keislaman yang tidak terjembatani antara ilmu-ilmu keislaman klasik dan ilmu-ilmu keislaman baru yang telah memanfaatkan analisis ilmu-ilmu sosial dan humaniora kontemporer, bahkan juga ilmu-ilmu alam. Sedangkan lingkar 3 dan 4 belum sama sekali tersentuh. Jaring laba-laba ini menampakkan adanya pergerakan zaman dan kompleksitas persoalan masyarakat yang akan bisa diselesaikan dengan perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Lingkar 1 dan 2 disebut sebagai Ulumuddin yang merupakan representasi dari “tradisi lokal” keislaman yang berbasis pada “bahasa” dan “teks-teks” atau nash-nash keagamaan. Lingkar ke 3 disebut sebagai al-Fikr al-Islamiy sebagai representasi pergumulan humanitas pemikiran keislaman yang berbasis pada “rasio-intelek”. Sedangkan lingkar ke 4 disebut Dirasat Islamiyyah atau Islamic Studies sebagai kluster keilmuan baru yang berbasis pada paradigma keilmuan sosial kritis-komparatif lantaran melibatkan seluruh “pengalaman” (experiences) umat manusia di alam historis-empiris yang amat sangat beranekaragam.[17]
Mengutib pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Amril Mansur, MA., bahwasanya pendekatan integratif-interkonektif yang bermuatan misi dan visi transpormatif progresif dan emansipatoris akan dapat terimplementasikan dengan menerapkan tiga pirantinya yang saling kerja sama, yaitu Hadharat an-Nas, Hadharat al-‘Ilm dan Hadharat al-Falsafah.[18] Hadarah al-‘ilm (budaya ilmu), yaitu ilmu-ilmu empiris yang menghasilkan, seperti sains, teknologi dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi juga bersentuhan dengan hadarah al-falsafah sehingga tetap memperhatikan etika emansipatoris. Begitu juga sebaliknya, hadarah al-falsafah (budaya filsafat) akan terasa kering dan gersang jika tidak terkait dengan isu-isu keagamaan yang termuat dalam budaya teks dan lebih-lebih jika menjauh dari problem-problem yang ditimbulkan dan dihadapi oleh hadarah al-‘ilm.[19]
 Disamping itu, penerapan tiga piranti ini juga perlu didukung oleh tiga model berpikir yang telah akrab dengan budaya akademik Islam yaitu Nalar Bayani, Nalar Burhani dan Nalar Irfani. Ketiga piranti dan model ini dalam implementasi pendekatan integratif-interkonektif perlu terus dibangun dan disinergikan.[20] Nalar Bayani adalah pencarian kebenaran yang bersumber pada otoritas teks semata dengan metode ijtihadiyah/qiyas. Nalar Burhani adalah pencarian kebenarannya bersumber pada realitas alam, sosial dan humanitas. Sedangkan Nalar ‘Irfani adalah menempatkan pengalaman sebagai sumber kebenaran.

C.  Implikasinya terhadap Pendidikan Umum dan Pendidikan Agama
Adapun implikasi epistemologi keilmuan (integratif-interkonektif) ini akan menyatukan ilmu agama (Islam) dengan ilmu umum (seperti ilmu-ilmu sosial, humaniora dan kealaman). Sebab paradigma ini meniscayakan perlunya dialog dan kerjasama antara ilmu umum dan agama yang dilakukan secara terus-menerus. Semua ini mengindikasikan bahwa pendekatan integritas-interkoneksitas antar berbagai disiplin ilmu perlu mendapatkan prioritas. Artinya, sekarang bukan eranya disiplin ilmu agama (Islam) menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman. Begitu juga sebaliknya bukan saatnya lagi ilmu-ilmu sosial, humaniora dan ilmu-ilmu kealaman menyendiri, perlu adanya integrasi keilmuan antara keduanya. [21]
Dari sini dapat kita katakan bahwa, sejak dahulu telah terjadi dis-integrasi ilmu pengetahuan dalam dunia pendidikan, khususnya antar ilmu umum dan ilmu agama. Melalui paradigma epistemologi keilmuan integratif-interkonektif Amin Abdullah ingin menghapus dis-integrasi itu seperti yang dapat kita lihat pada penjelasan tentang jaring laba-laba keilmuan di atas. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa paradigma integratif-interkonektif ini sangat bermanfaat dan sangat baik untuk diterapkan pada dunia pendidikan, khususnya di Indonesia pada saat ini.
Disamping itu, reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang. Pendekatan integritas dan interkoneksitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan secara terus-menerus.




[1]M. Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif.
[2]Ibid., h. 432
[3]Ibid., h. 433
[4]Ibid., h. 92-93
[5]Ibid., h. 97
[6]Ibid., h. 99
[7]Ibid., h. 97 
[8]Dosen Pasca Sarjana UIN SUSKA RIAU
[9]Ibid., h. viii-ix
[10]Ibid., h. 99-100
[11]Ibid., h. 101
[12]Ibid., h. 102-103
[13]Ibid., h. 105 
[14]Ibid., h. 106
[15]Ibid., h. 105
[16]Ibid., h. 108
[18]Amril Mansur, Makalah Integrasi Islam dan Sains: Menggali Teori Menuju Aksi,  h. 13
[19]M. Amin Abdullah, op.cit., h. 403-404
[20]Amril Mansur, op.cit., h. 16-17
[21]http://el-islami.blogspot.com/2009/09/epistemologi-keilmuan.html

Share:

0 komentar