Filsafat Ibnu Sina

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA

A.  Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Abbasiyah mengalami kemunduran dan daerah-daerah yang pada awalnya berada di bawah kekuasaan Abbasiyah mulai melepaskan diri satu persatu untuk berdiri sendiri. Diantara daerah-daerah yang berdiri sendiri itu adalah daulat Samani[1] di Bukhara dan diantara khalifahnya adalah Nuh bin Mansur.[2] Pada masa Nuh bin Mansur[3] inilah Ibnu Sina dilahirkan.[4]
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina. Ia lahir pada bulan Shafar 370 H/Agustus 980 M di Afsyana[5] (negeri kecil dekat Charmitan), suatu tempat dekat Bukhara.[6] Ayahnya berasal dari Balkh yang terletak di sebelah Utara Afganisthan yang pindah ke Bukhara.[7] Di kota Bukhara ia belajar ilmu-ilmu agama, ilmu astronomi dan menghafal Al-Qur’an bahkan hingga hafal seluruh Al-Qur’an, sedangkan usianya pada waktu itu baru 10 tahun.[8] Kemudian ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya.[9]
Belum lagi usianya melebihi 16 tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang-orang yang sakit. Hingga ia berusia 17 tahun, Nuh bin Mansur yang merupakan penguasa daerah Bukhara, menderita sakit yang tidak bisa diobati oleh dokter-dokter pada masanya. Akan tetapi setelah Ibnu Sina mengobatinya, dia sembuh. Sejak itu, Ibnu Sina diberi kebebasan untuk mengunjungi perpustakaan istana yang berisi buku-buku yang sukar didapatkan.[10] Namun karena suatu hal, perpustakaan ini terbakar dan ia dituduh sebagai pelakunya yang sengaja membakar perpustakaan tersebut agar tidak ada orang lain yang bisa memanfaatkan perpustakaan tersebut dan mendapatkan ilmu dari buku-buku yang ada disana.[11] Sehingga ia dipenjara selama empat bulan.[12]
Dengan ketajaman otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika Aristoteles, kendati sudah 40 kali membacanya. Setelah ia membaca buku Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho (sarahan filsafat Aristoteles) oleh Al-Farabi (870-950 M), barulah ia mendapatkan mendapatkan jawaban dari semua persoalannya dengan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[13] Jadi, dapat dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris filsafat Yunani yang dirintis oleh Al-Farabi. Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat, sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai puncaknya dan karena prestasinya itu ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al-Syikh al-Ra’is (kyai utama).[14]
Pada saat ia berusia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia.[15] Setelah itu ia meninggalkan Bukhara menuju Jurjan. Di Jurjan Ia mengajar dan mengarang, tetapi ia tidak lama tinggal di daerah ini karena kekacauan politik yang terjadi. Sesudah itu ia pindah dari satu daerah ke daerah lain, hingga akhirnya ia sampai di Hamadzan.[16]  Oleh penguasa negeri ini yaitu Amir Syamsud Daulah,[17] ia diangkat menjadi mentrinya berkali-kali setelah ia dapat mengobati penyakit yang diderita oleh Syamsud Daulah. Dengan demikian, hidup Ibnu Sina penuh dengan kesibukan bekerja dan mengarang di samping kesenangan dan kepahitan hidup, hingga akhirnya ia menderita penyakit dingin yang tidak bisa lagi disembuhkan. Pada tahun 428 H/1037 M ia wafat di Hamadzan pada usia 58 tahun.[18]
B.  Karya-Karya Ibnu Sina
Meskipun Ibnu Sina disibukkan dengan urusan pemerintahan yang menyebabkan ia tidak banyak mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia berhasil menciptakan banyak karya tulis yang sangat besar pengaruhnya terhadap generasi sesudahnya, baik di dunia Barat maupun dunia Timur. Kesuburan hasil karyanya ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, ia pandai mengatur waktu, siang hari digunakannya untuk bekerja di pemerintahan, sedangkan malam hari digunakannya untuk mengajar dan mengarang. Jika hendak berpergian, maka kertas dan alat tulislah yang paling utama ia perhatikan, dan jika ia sudah lelah dalam perjalanan, ia duduk dan beristirahat sambil berpikir dan menulis. Dalam satu hari ia menulis tidak kurang dari lima puluh lembar. Kedua, kecerdasan otak dan kekuatan hafalan juga sangat berpengaruh terhadap karyanya. Ketiga, sebelum Ibnu Sina telah lahir duluan Al-Farabi yang mengarang dan mengulas buku-buku filsafat. Artinya, Al-Farabi memberikan jalan kepada Ibnu Sina untuk mengembangkannya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan yang dihadapinya.[19]  
Diantara karya tulis Ibnu Sina yang terkenal adalah:
1.    Asy-Syifa
Buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina. Buku ini berisi tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan).
2.    An-Najat
Buku ini berisi keringkasan dari kitab Asy-Syifa yang ditujukan khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3.    Al-Isyarat wat-Tanbihat
Buku ini berisi uraian tentang logika dan hikmah dan merupakan buku terakhir dan yang paling baik dari Ibnu Sina.
4.    Al-Qanun fi al-Thibb
Buku ini berisi tentang ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit. Buku ini pernah menjadi standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad XVII M.[20]
5.    Lisanul Arab (bidang bahasa)
6.    Hafiyatul Amir (potensi manusia)[21]
C.  Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.    Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan (rekonsiliasai) antara agama dan filsafat. Menurutnya, Nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni malaikat Jibril yang disebut akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi Nabi terjadinya hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materiil yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal mustafad sebagai anugerah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu, filosof memperoleh akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materiil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.[22]
Ibnu Sina sebagaimana Al-Farabi juga memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para Nabi dengan filosof. Nabi adalah manusia pilihan Allah SWT dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya menjadi Nabi. Sedangkan filosof adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi Nabi. Dalam pandangan Ibnu Sina, para Nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para Nabi diberi mukjizat yang berisi kebenaran untuk diikuti oleh manusia.[23]
Analisis penulis mengenai rekonsiliasi agama dan filsafat ini merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh Ibnu Sina untuk meneruskan pemikiran Al-Farabi yang lebih dahulu mengusahakan pemaduan antara agama dan filsafat. Dalam rekonsiliasi ini Nabi mewakili daripada agama dan filosof mewakili filsafat. Dimana antara Nabi dan filosof sama-sama hamba Allah yang diberikan nilai-nilai kebenaran dari sumber yang sama, hanya saja berbeda dalam hal kualitas, kuantitas serta cara memperolehnya. Dimana kedudukan Nabi lebih tinggi dibandingkan dengan filosof, karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan dan usaha yang keras, sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha yang besar. Namun, baik Nabi maupun filosof sama-sama memiliki kewajiban untuk menyiarkan nilai-nilai kebenaran tersebut. Kemudian, Nabi sangat dibutuhkan sebagai pembimbing jalan kebenaran umat Islam, yang mengajarkan dan menunjukkan hal-hal yang tidak ada penjelasan rincinya dalam Al-Qur’an dengan Sunnahnya.
2.    KeTuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) menggunakan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Kemudian dalam falsafat wujud, ia membagi tiga tingkatan, yaitu:
a.    Wajib al-Wujud (wujud mesti)
Yaitu esensi yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.
b.    Mumkin al-Wujud (wujud mungkin)
Yaitu esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain, boleh ada dan boleh tidak ada.
c.    Mumtani’ al-Wujud (wujud mustahil)
Yaitu esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya kosmos sekarang ini disamping kosmos yang lain.[24]
Setiap yang ada mesti mempunyai esensi (mahiah), disamping wujud. Diantara wujud dan mahiah, wujudlah yang lebih penting, karena wujudlah yang membuat mahiah menjadi ada dalam kenyataan. Mahiah hanya terdapat dalam alam pikiran atau akal, sedangkan wujud terdapat dalam alam nyata, di luar pikiran atau akal.[25]
Mumtani adalah mahiah yang tidak bisa mempunyai wujud  dalam alam nyata seperti  adanya kosmos lain disamping kosmos kita ini. Mumkin adalah mahiah yang bisa mempunyai wujud dan bisa pula tidak mempunyai wujud, seperti kuda dan singa yang mahiahnya boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak. Sedangkan wajib adalah mahiah yang tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Mahiah dan wujud adalah satu, sebab itu ia disebut wujud yang mesti ada yakni Tuhan. Mahiah-Nya adalah wujud-Nya dan wujud-Nya adalah mahiah-Nya.[26]
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah SWT. tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil wujud pertama yakni wajib al-wujud. Jagad raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab yang mengeluarkannya menjadi wujud, karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian dalam menetapkan yang pertama (Allah SWT) tidak perlu perenungan selain terhadap wujud itu sendiri tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat.[27] Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan Al-Qur’an dalam surat Al-Fushshilat ayat 53 berikut. 
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang dikaitkannya dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas. Ibnu Sina berusaha mengesankan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara kesempurnaan Allah. [28]
Ada tiga analisis yang bisa penulis simpulkan dari pemikiran filsafat Ibnu Sina tentang ketuhanan ini. Pertama, mengenai filsafat wujud yang dibagi tiga oleh Ibnu Sina, yang pertama dia meyakini bahwa Tuhan wajib al-wujud, artinya Tuhan memiliki mahiah dan wujud yang bersatu dan tidak mungkin berpisah, meskipun seperti apa wujud-Nya tidak boleh dibayangkan seperti wujud makhluk-Nya. Namun yang pasti, Tuhan itu diyakini benar-benar ada. Kedua adalah mumkin al-wujud, dimana suatu mahiah yang bisa memiliki wujud dan bisa pula tidak, jika Allah menghendaki wujud dari mahiah tersebut, maka menjadilah bentuk dari mahiah tersebut, namun jika Allah tidak menghendakinya, maka tidak akan ada wujudnya, maka berbentuknya mahiah ini memerlukan sebab. Dengan demikian, Tuhan lah yang menjadikan mumkin al-wujud memiliki wujud. Dan yang ketiga adalah mumtani al-wujud atau mahiah yang mustahil memiliki wujud, namun menurut penulis ketika status kemustahilan sesuatu naik menjadi mungkin, maka bisa saja wujudnya akan tercipta. bahwasanya Ibnu Sina dalam berfilsafat tidak pernah lepas dari ajaran Islam.
Analisa kedua tentang dalil pembuktian adanya Tuhan yang dikemukan Ibnu Sina, pada dasarnya ia hanya meyakini adanya Tuhan dengan wajib al-wujud, karena dengan kemutlakan sifat tersebut Tuhan itu bisa diyakini keberadaannya, meskipun dengan melihat dan mengamati ciptaannya juga bisa diketahui keberadaannya. Anlisa ketiga, Ibnu Sina tetap mengedepankan ke Esaan Allah dalam filsafatnya. Ia menguatkan ke Esaan Allah dengan pemikiran rasionalnya, sehingga meskipun corak pemikirannya rasional, namun tidak pernah lari dari ajaran Islam.
3.    Emanasi
Emanasi merupakan teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti ada: Tuhan).[29] Ibnu Sina, sebagaimana Al-farabi menganut filsafat emanasi. Filsafat emanasi  bukanlah hasil renungan Ibnu Sina ataupun Al-Farabi, tetapi berasal dari ramuan Plotinus[30] yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang Esa. Kemudian, filsafat plotinus yang berprinsip bahwa “dari Yang Satu hanya satu yang melimpah”. Ini di Islamkan oleh Ibnu Sina juga Al-Farabi bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi.[31] Hal ini memungkinkan karena di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta yang aktif. Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya.[32]
Perbedaan mendasar antara emanasi Plotinus dengan Ibnu Sina (juga  Al-Farabi) adalah bagi Plotinus alam ini hanya terpancar dari Yang Satu (Tuhan), yang mengesankan Allah tidak pencipta dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan mentari memancarkan sinarnya. Sementara itu dalam Islam, emanasi ini dalam rangka menjelaskan cara Allah menciptakan alam.
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini kadim karena diciptakan oleh Allah sejak azali. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman,[33] maka alam kadim dari segi zaman. Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan Allah, alam ini baharu.[34]
Analisa penulis mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang emanasi ini juga merupakan salah satu usaha dia untuk memurnikan ke-Esaan Tuhan dalam menciptakan segala sesuatu yang ia kehendaki, termasuk alam jagat raya ini. Ia merubah pandangan dan keyakinan Plotinus yang memandang bahwa Tuhan itu tidak bisa menciptakan sesuatu, termasuk alam ini yang tercipta dengan sendirinya dari pancaran Tuhan dan tidak ada kuasa Tuhan dalam menciptkannya. Ibnu Sina menolak pandangan yang seperti itu, ia memurnikan ke Esaan Tuhan dengan cara meyakini bahwa Tuhan itu adalah aktif, tidak pasif seperti yang dikemukan Plotinus. Dia meyakini bahwa alam ini diciptakan atas kehendak Tuhan dan Dia-lah yang menciptakannya. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Sina memang membenarkan dan mengislamkan pandangan-pandangan filsuf Yunani yang keliru. Selanjutnya, alam ini dihukumi kadim dari segi zaman, karena alam lebih dahulu ada dalam ucapan Allah sebelum adanya zaman. Ketika alam benar-benar nyata terlihat seperti sekarang ini, itulah alam yang disebut baharu sebagai ciptaan Allah. Kemudian barulah adanya zaman.
4.    Jiwa
Keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwanya, karena kata jiwa sangat banyak sekali dibahas dalam Al-Qur’an.[35] Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi dua, yaitu yang berkaitan dengan fisika dan metafisika.
a.    Fisika, yang membicarakan tentang daya jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatiah), hewan (hayawaniah) dan manusia (insaniah).
1)   Daya jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatiah), adalah daya yang terdapat dalam diri semua makhluk hidup atau yang bernyawa. Daya ini terbagi tiga macam, yakni  makan, tumbuh dan memproduksi. Daya jiwa ini adalah tingakatan yang terendah. Dengan daya ini manusia berpotensi untuk makan, tumbuh dan memproduksi sebagaimana tumbuh-tumbuhan.
2)   Daya jiwa binatang (hayawaniah), daya jiwa ini terdapat pada hewan dan manusia, sedangkan pada tumbuhan tidak ada. Daya jiwa ini dibagi dua, yakni menggerakkan dan menanggapi.[36]
Daya jiwa untuk menggerakkan dibagi menjadi dua, yaitu:
a)    Membangkitkan, yaitu daya keinginan kecondongan yang mendorong lahirnya gerakan. Yang kemudian melahirkan dua daya. Pertama, daya keinginan yang membangkitkan gerakan  untuk memperoleh kebutuhan atau manfaat karena menginginkan kelezatan. Kedua, daya keinginan yang membangkitkan gerakan untuk menghindari segala sesuatu yang memudharatkan atau merusak karena menginginkan keselamatan.
b)   Melaksanakan, yaitu daya penggerak yang terdapat dalam urat-urat syaraf sampai luar bagian badan. Dengan daya ini syaraf otot-otot melakukan gerakan sesuai dengan tuntutan keinginan.[37]
Daya jiwa untuk menanggap juga dibagi dua, yaitu.
a)    Menanggap dari luar, yaitu menanggap dari penginderaan terhadap ransangan-ransangan yang datang dari luar. Disebut juga dengan kekuatan panca indra yang lima.[38]
b)   Menanggap dari dalam, yaitu menanggap ransangan yang datang dari dalam jiwa atau dirinya sendiri.[39] Daya jiwa ini dibagi lima, yaitu:
(1)     Persepsi (al-hiss al-musytarak), yaitu daya jiwa yang menerima seluruh gambaran yang terlukis di indra.
(2)     Fantasi (al-khayyal), yang menyimpan segala apa yang diterima oleh persepsi.
(3)     Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan dalam fantasi.[40]
(4)     Mendeteksi atau mengindetifikasi (wahmiyah), merupakan daya jiwa hewan yang dapat memutuskan mana yang lawan dan kawan. Seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat srigala. Doktrin wahm Ibnu Sina ini dekat dengan “respon syaraf” subjek terhadap objek tertentu seperti yang dikemukan oleh psikologi modern.[41] Karena pemikiran Ibnu Sina memang dekat pemikiran para pakar modern.
(5)     Pemeliharaan (rekoleksi), yaitu daya jiwa yang memelihara apa yang diperoleh atau ditanggapi oleh wahmiyah.[42]
Dengan demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan hanya sekedar makan, tumbuh dan memproduksi, tetapi telah dapat bekerja dan bertindak.
3)   Jiwa manusia (insaniyah), daya jiwa ini dibagi dua:
a)    Daya jiwa ‘Aamilah (akal/intelegensia praktis), yaitu daya jiwa manusia yang punya kekuasaan atas badan manusia, dengan daya jiwa inilah manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan pemikiran yang membedakannya dengan hewan. Akal praktis ini merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya penggerak.[43]
b)   Daya jiwa ‘Aalimah (akal intelegensia teoritis), yaitu daya yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.[44]
Ketika penulis membaca dan menganalisa pemikiran Ibnu Sina mengenai fisika (daya-daya jiwa) ini, yang terbayang oleh penulis adalah  prilaku dan sifat yang tampil atau terlihat dari setiap individu. Jika seseorang dalam kehidupannya hanya mengutamakan dan hanya memikirkan makan, ingin memproduksi, ataupun menghindari yang membahayakan bagi dirinya atau sebaliknya selalu ingin mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan dirinya, maka seseorang tersebut tidaklah beda dengan tumbuhan dan hewan. Namun, ketika manusia bisa mengimbangi dua daya ini dengan kelebihan yang diberikan Allah SWT, yaitu karunia akal, maka jadilah ia pribadi yang baik dan berprilaku yang santun.
b.    Metafisika, yang membicarakan tentang hal-hal berikut:
1)   Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut:
a)    Dalil alam kejiwaan
Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan, kecuali sesudah mengakui adanya jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut ialah gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
(1)     Gerakan paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar yang menyebabkan suatu benda bergerak.
(2)     Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu, yang berlawanan dengan hukum alam, seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal, menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim. Penggerak ini disebut dengan jiwa.[45]
Kemudian pengetahuan tidak dimiliki oleh semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh sebagiannya. Yang memiliki pengetahuan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada lainnya.[46]
Menurut penulis, mengenai pengetahuan yang tidak dimiliki oleh semua makhluk hidup bisa dilihat dari perbedaan antara manusia dengan hewan ataupun tumbuhan. Manusia memiliki jiwa untuk mendapatkan pengetahuan, sedangkan hewan dan tumbuhan tidak memiliki jiwa tersebut, sehingga tidak ada bagi dua makhluk tersebut suatu pengetahuan. Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi tumbuhan ataupun hewan untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan, berbeda dengan manusia yang dibekali jiwa pengetahuan yang menyebabkan dia dibebani kewajiban untuk menuntut ilmu pengetahuan. Namun, untuk jiwa menggerakkan inilah yang dimiliki baik oleh manusia ataupun hewan. Dengan demikian, jiwa terbukti berfungsi untuk menggerakkan jisim dan keberadaan jiwa tidak  bisa dinafikan.
Kemudian Ibnu Sina juga setuju dengan Aristoteles tentang pentingnya pengamatan indra untuk memperoleh pengetahuan, tetapi ia tidak menganggapnya sebagai dasar pengetahuan seperti Aristoteles yang menyatakan tanpa pengamatan indra tidak akan ada pengetahuan atau pemikiran. Ibnu Sina hanya berpendapat bahwa indra adalah tahap awal yang mesti menyiapkan jiwa untuk melakukan pengamatan dalam rangka mendapatkan pengetahuan tersebut.[47]
b)   Konsep “aku” dan kesatuan gejala kejiwaan
Dalil ini oleh Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksud pada hakikatnya adalah jiwanya, bukan jisimnya. Ketika Anda berkata, saya akan keluar atau saya akan tidur, maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.[48]
c)    Dalil kontinuitas (al-istimar)
Dalil ini mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan. Kehidupan rohani kita pada sekarang ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus, bahkan juga ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.[49]
Oleh sebab itu, dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lalu karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perubahan. Sedangkan jiwa bersifat kontinu (istimrar), tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita sekarang adalah jiwa sejak lahir dan akan berlansung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.[50]
Penulis sepakat dengan pemikiran seperti di atas, bahwasanya jiwa tidak akan pernah berubah ataupun mati seperti jasad. Jasad semua manusia ketika masih kecil, muda dan tua berbeda, bahkan ketika mati sekalipun habis dimakan hewan di dalam tanah. Berbeda dengan jiwa yang sejak Allah tiupkan kepada manusia sejak dalam rahim hingga mati tetap sama. Oleh sebab itu, antara jasad dengan jiwa tidak akan pernah bersatu untuk selamanya.
d)   Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut:[51]
“Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada disekelilingnya, kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan ataupun perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan. Meskipun ini semua terjadi, orang tersebut tidak akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meski ia sukar untuk menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Kalau pada saat itu ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan atau kaki, maka ia tidak akan mengira bahwa itu tangan dan kakinya. Dengan demikian, penetapan tentang wujud dirinya tidak timbul dari indra atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.[52]
Demikianlah dalil-dalil yang dikemukakan Ibnu Sina sebagai bukti tentang adanya jiwa. Ia sangat meyakini akan keberadaan jiwa dalam diri manusia, penulis juga memahami bahwa jiwa sangat besar peranannya dalam jisim seseorang.
2)   Hakikat jiwa
Hakikat jiwa yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi: “Kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya  benda alam lain terdiri dari dua unsur, yaitu materi (madat)  atau form (shurat). Materi adalah jasad manusia dan form adalah jiwa manusia. Form inilah yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasinya adalah hancurnya materi atau jasad akan membawa hancurnya form atau jiwa.[53]
Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh).[54]
3)   Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato telah membicarakan hubungan antara jiwa dengan jasad. Aristoteles menggambarkan hubungan keduanya besifat esensial. Sebaliknya, Plato seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan antara keduanya bersifat accident karena jiwa dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.[55]
Ibnu Sina menerima penekanan Aristoteles tentang eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, namun hubungan yang bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan Plato bahwa keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membinasakan jiwa.[56]
Menurut Ibnu Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad.[57]
4)   Kekekalan jiwa
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa manusia diciptakan setiap kali jasad yang akan ditempatinya telah diadakan. Pendapat ini sekaligus menolak konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah ada di dalam idea sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima, maka akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu tubuh ditempati beberapa jiwa (form suatu badan tidak mungkin menjadi form badan lain dalam waktu yang bersamaan).
Ibnu Sina kelihatannya lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Al-Qur’an. Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celakanya) di akhirat. Akan tetapi kekalnya ini dikekalkan Allah (al-khulud). Jadi, jiwa adalah baharu karena diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).[58] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ibnu Sina  meyakini bahwa yang dibangkitkan di akhirat kelak hanya roh.
Dari uraian di atas, setelah penulis analisa dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Sina memandang kedudukan jiwa sangat penting dan memiliki fungsi yang tidak kalah pentingnya. Disamping itu, Ibnu Sina juga meyakini bahwa jiwa manusia tidak hancur seperti hancurnya badan dan tidak akan dibangkitkan lagi di akhirat kelak. Hal tersebut disebabkan karena jiwa bersifat kekal, sementara jasad tidak. Namun, kekalnya jiwa tidaklah sama dengan kekalnya Allah SWT, karena jiwa dikekalkan Allah dan ada permulaan atau penciptaannya. Sedangkan Allah tidak ada permulaan dan tidak pula ada yang mengkekalkan-Nya.
Demikianlah pembahasan Ibnu Sina, meskipun kebanyakan pemikiran filsafatnya telah dikemukakan Al-farabi sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian secara rinci. Dan dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemikiran filsafat Ibnu Sina tidak pernah lari pemikiran filsafat yang dikemukan oleh Al-Farabi, karena secara tidak lansung Ibnu Sina juga pernah berguru kepada Al-Farabi


[1]SAMANIYAH (203 H/819 M - 395 H/1005 M). Wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah meliputi daerah Khurasan (Irak) dan Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di sebelah timur Baghdad. Ibukotanya adalah Bukhara. Dinasti Samaniyah didirikan oleh Ahmad bin Asad bin Saman khudat, keturunan seorang bangsawan Balkh (Afghanistan Utara). Puncak kejayaan tercapai pada masa pemerintahan Isma'il II al-Muntasir, khalifah terakhir Samaniyah, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serangan Dinasti Qarakhan dan Dinasti Ghaznawi. Dinasti Samaniyah berakhir setelah Isma'il II terbunuh pada 395 H/1005 M.
[2]Merupakan Raja Dinasti Samani (Bukhara) yang memerintah antara tahun  366 hingga 387 Hijriyah.
[3]Merupakan Raja Dinasti Samani (Bukhara) yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 Hijriyah.
[4]A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam.
[5]Nama daerah sekarang adalah Baghdad
[6]Sirajudin Zar, op.cit.
[7]Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim.
[8]Ahmad Daudy,  Kuliah Filsafat Islam.
[9]Nama lengkapnya adalah Abu Sahl Isa bin Yahya Al-Masity Al-Jurjani.
[10]A. Hanafi, op.cit.
[11]Sirajudin Zar, op.cit.
[12]Zarkasyi A. Salam, Aliran Dan Teori Filsafat Islam.
[13]Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Sina (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia.
[14]Sirajudin Zar, op.cit.
[15]Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James.
[16]Hamadzan sekarang namanya Iran.
[17]Nama lengkapnya adalah Abu Tahir Syamsud Daulah, yang merupakan penguasa atau pemerintah daerah Hamadzan.
[18]Ahmad Tafsir, op.cit.
[19]A. Hanafi, op.cit.
[20]A. Hanafi, op.cit.
[21]Busyairi Madjidi, op.cit.
[22]Sirajudin Zar, op.cit.
[23]Ibid.
[24]Sirajudin Zar, op.cit.
[25]Harun Nasution, Filsafat Agama.
[26]Harun Nasution, op.cit.
[27]Sirajudin Zar, op.cit.
[28]Ibid.
[29]Ahmad Tafsir, op.cit.
[30]Plotinus merupakan salah seorang penganut ajaran Neo Platonisme, yaitu fase mengulang yang lama (tidak ada sesuatu baru yang diciptakan)
[31]Sirajudin Zar, Ibid.
[32]Ibid.
[33]Ibnu Sina mendefinisikan zaman sebagai suatu ukuran (kadar) gerak yang bundar, dari segi maju mundurnya.
[34]Sirahudin Zar, Ibid.
[35]Ibid.
[36]Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim.
[37]Ibid.
[38]Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam.
[39]Busyairi Madjidi, Ibid.
[40]Ibid.
[41]M.M. Syarif, op.cit.
[42]Busyairi Madjidi, op.cit.
[43]Al-Ghazali, Madarij Al-Salikin.
[44]Busyairi Madjidi, op.cit.
[45]Sirajudin Zar, op.cit.
[46]A. Hanafi, op.cit.
[47]Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.
[48]Sirajudin Zar, op.cit.
[49]A. Hanafi, op.cit.
[50]Sirajudin Zar, op.cit.
[51]A. Hanafi, op.cit.
[52]A. Hanafi, op.cit.
[53]Sirajudin Zar, op.cit.
[54]Ibid.
[55]Ibid.
[56]Ibid.
[57]Ibid.
[58]Ibid.

Share:

0 komentar