Filsafat Ibnu Sina
PEMIKIRAN
FILSAFAT IBNU SINA
A.
Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina dilahirkan
dalam masa kekacauan, dimana Abbasiyah mengalami kemunduran dan daerah-daerah
yang pada awalnya berada di bawah kekuasaan Abbasiyah mulai melepaskan diri
satu persatu untuk berdiri sendiri. Diantara daerah-daerah yang berdiri sendiri
itu adalah daulat Samani[1] di
Bukhara dan diantara khalifahnya adalah Nuh bin Mansur.[2] Pada
masa Nuh bin Mansur[3]
inilah Ibnu Sina dilahirkan.[4]
Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibnu Sina. Ia lahir pada bulan
Shafar 370 H/Agustus 980 M di Afsyana[5] (negeri
kecil dekat Charmitan), suatu tempat dekat Bukhara.[6] Ayahnya
berasal dari Balkh yang terletak di sebelah Utara Afganisthan yang pindah ke
Bukhara.[7] Di kota
Bukhara ia belajar ilmu-ilmu agama, ilmu astronomi dan menghafal Al-Qur’an
bahkan hingga hafal seluruh Al-Qur’an, sedangkan usianya pada waktu itu baru 10
tahun.[8] Kemudian
ia mempelajari matematika, fisika, logika dan ilmu metafisika. Sesudah itu ia
mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya.[9]
Belum lagi usianya
melebihi 16 tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang,
bahkan banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup
dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati
orang-orang yang sakit. Hingga ia
berusia 17 tahun, Nuh bin Mansur yang merupakan penguasa daerah Bukhara,
menderita sakit yang tidak bisa diobati oleh dokter-dokter pada masanya. Akan
tetapi setelah Ibnu Sina mengobatinya, dia sembuh. Sejak itu, Ibnu Sina diberi
kebebasan untuk mengunjungi perpustakaan istana yang berisi buku-buku yang
sukar didapatkan.[10]
Namun karena suatu hal, perpustakaan ini terbakar dan ia dituduh sebagai
pelakunya yang sengaja membakar perpustakaan tersebut agar tidak ada orang lain
yang bisa memanfaatkan perpustakaan tersebut dan mendapatkan ilmu dari
buku-buku yang ada disana.[11]
Sehingga ia dipenjara selama empat bulan.[12]
Dengan ketajaman
otaknya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-cabangnya, kesungguhan yang
cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu
kali dia harus terpaku menunggu saat ia menyelami ilmu metafisika Aristoteles,
kendati sudah 40 kali membacanya. Setelah ia membaca buku Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho (sarahan filsafat
Aristoteles) oleh Al-Farabi (870-950 M), barulah ia mendapatkan mendapatkan
jawaban dari semua persoalannya dengan penjelasan yang terang benderang,
bagaikan dia mendapat kunci bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan
tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[13]
Jadi, dapat dikatakan bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris filsafat Yunani
yang dirintis oleh Al-Farabi. Atas keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan
pemikiran filsafat, sehingga dapat dinilai bahwa filsafat di tangannya telah
mencapai puncaknya dan karena prestasinya itu ia berhak memperoleh gelar
kehormatan dengan sebutan al-Syikh al-Ra’is (kyai utama).[14]
Pada saat ia
berusia 22 tahun, ayahnya meninggal dunia.[15]
Setelah itu ia meninggalkan Bukhara menuju Jurjan. Di Jurjan Ia mengajar dan
mengarang, tetapi ia tidak lama tinggal di daerah ini karena kekacauan politik
yang terjadi. Sesudah itu ia pindah dari satu daerah ke daerah lain, hingga
akhirnya ia sampai di Hamadzan.[16] Oleh penguasa negeri ini yaitu Amir Syamsud
Daulah,[17]
ia diangkat menjadi mentrinya berkali-kali setelah ia dapat mengobati penyakit
yang diderita oleh Syamsud Daulah. Dengan demikian, hidup Ibnu Sina penuh
dengan kesibukan bekerja dan mengarang di samping kesenangan dan kepahitan
hidup, hingga akhirnya ia menderita penyakit dingin yang tidak bisa lagi
disembuhkan. Pada tahun 428 H/1037 M ia wafat di Hamadzan pada usia 58 tahun.[18]
B.
Karya-Karya Ibnu Sina
Meskipun Ibnu
Sina disibukkan dengan urusan pemerintahan yang menyebabkan ia tidak banyak
mempunyai kesempatan untuk mengarang, namun ia berhasil menciptakan banyak
karya tulis yang sangat besar pengaruhnya terhadap generasi sesudahnya, baik di
dunia Barat maupun dunia Timur. Kesuburan hasil karyanya ini disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, ia pandai mengatur waktu, siang hari digunakannya untuk
bekerja di pemerintahan, sedangkan malam hari digunakannya untuk mengajar dan
mengarang. Jika hendak berpergian, maka kertas dan alat tulislah yang paling
utama ia perhatikan, dan jika ia sudah lelah dalam perjalanan, ia duduk dan
beristirahat sambil berpikir dan menulis. Dalam satu hari ia menulis tidak
kurang dari lima puluh lembar. Kedua, kecerdasan otak dan kekuatan
hafalan juga sangat berpengaruh terhadap karyanya. Ketiga, sebelum Ibnu
Sina telah lahir duluan Al-Farabi yang mengarang dan mengulas buku-buku
filsafat. Artinya, Al-Farabi memberikan jalan kepada Ibnu Sina untuk
mengembangkannya, sehingga tidak banyak lagi kesulitan yang dihadapinya.[19]
Diantara karya
tulis Ibnu Sina yang terkenal adalah:
1.
Asy-Syifa
Buku ini adalah
buku filsafat yang terpenting dan terbesar dari Ibnu Sina. Buku ini berisi
tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian, yaitu logika, fisika,
matematika dan metafisika (ketuhanan).
2.
An-Najat
Buku ini berisi
keringkasan dari kitab Asy-Syifa yang ditujukan khusus untuk kelompok
terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3.
Al-Isyarat wat-Tanbihat
Buku ini berisi
uraian tentang logika dan hikmah dan merupakan buku terakhir dan yang paling
baik dari Ibnu Sina.
4.
Al-Qanun fi al-Thibb
Buku ini berisi
tentang ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagai ilmu dan
berjenis-jenis penyakit. Buku ini pernah menjadi standar untuk
universitas-universitas Eropa sampai akhir abad XVII M.[20]
5.
Lisanul Arab (bidang bahasa)
6.
Hafiyatul Amir (potensi manusia)[21]
C.
Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.
Al-Tawfiq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana
Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemaduan (rekonsiliasai) antara agama
dan filsafat. Menurutnya, Nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang
sama, yakni malaikat Jibril yang disebut akal kesepuluh atau akal aktif.
Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya. Bagi Nabi terjadinya
hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads
(kekuatan suci), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal
materiil yang dayanya jauh lebih kuat daripada akal mustafad sebagai anugerah
Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu, filosof memperoleh akal mustafad
yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materiil melalui latihan berat.
Pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara
keduanya tidaklah bertentangan.[22]
Ibnu Sina
sebagaimana Al-Farabi juga memberikan ketegasan tentang perbedaan antara para
Nabi dengan filosof. Nabi adalah manusia pilihan Allah SWT dan tidak ada
peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya menjadi Nabi. Sedangkan
filosof adalah manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan tidak bisa menjadi
Nabi. Dalam pandangan Ibnu Sina, para Nabi sangat diperlukan bagi kemaslahatan
manusia dan alam semesta. Hal ini disebabkan para Nabi diberi mukjizat yang
berisi kebenaran untuk diikuti oleh manusia.[23]
Analisis
penulis mengenai rekonsiliasi agama dan filsafat ini merupakan suatu usaha yang
dilakukan oleh Ibnu Sina untuk meneruskan pemikiran Al-Farabi yang lebih dahulu
mengusahakan pemaduan antara agama dan filsafat. Dalam rekonsiliasi ini Nabi
mewakili daripada agama dan filosof mewakili filsafat. Dimana antara Nabi dan
filosof sama-sama hamba Allah yang diberikan nilai-nilai kebenaran dari sumber
yang sama, hanya saja berbeda dalam hal kualitas, kuantitas serta cara
memperolehnya. Dimana kedudukan Nabi lebih tinggi dibandingkan dengan filosof,
karena Nabi memiliki akal
aktual yang sempurna tanpa latihan dan usaha yang keras, sedangkan filosof
mendapatkannya dengan usaha yang besar. Namun,
baik Nabi maupun filosof sama-sama memiliki kewajiban untuk menyiarkan
nilai-nilai kebenaran tersebut. Kemudian, Nabi sangat dibutuhkan sebagai
pembimbing jalan kebenaran umat Islam, yang mengajarkan dan menunjukkan hal-hal
yang tidak ada penjelasan rincinya dalam Al-Qur’an dengan Sunnahnya.
2.
KeTuhanan
Ibnu Sina dalam
membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah) menggunakan dalil wajib
al-wujud dan mumkin al-wujud. Kemudian dalam falsafat wujud, ia
membagi tiga tingkatan, yaitu:
a.
Wajib al-Wujud (wujud mesti)
Yaitu esensi
yang mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud,
keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini wajib dan mesti berwujud
selama-lamanya.
b.
Mumkin al-Wujud (wujud mungkin)
Yaitu esensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan kata lain,
boleh ada dan boleh tidak ada.
c.
Mumtani’ al-Wujud (wujud mustahil)
Yaitu esensi
yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya kosmos sekarang ini disamping
kosmos yang lain.[24]
Setiap yang ada
mesti mempunyai esensi (mahiah), disamping wujud. Diantara wujud dan
mahiah, wujudlah yang lebih penting, karena wujudlah yang membuat mahiah
menjadi ada dalam kenyataan. Mahiah hanya terdapat dalam alam pikiran atau
akal, sedangkan wujud terdapat dalam alam nyata, di luar pikiran atau akal.[25]
Mumtani adalah
mahiah yang tidak bisa mempunyai wujud
dalam alam nyata seperti adanya
kosmos lain disamping kosmos kita ini. Mumkin adalah mahiah yang bisa mempunyai
wujud dan bisa pula tidak mempunyai wujud, seperti kuda dan singa yang
mahiahnya boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak. Sedangkan wajib adalah
mahiah yang tidak dapat dipisahkan dari wujudnya. Mahiah dan wujud adalah satu,
sebab itu ia disebut wujud yang mesti ada yakni Tuhan. Mahiah-Nya adalah
wujud-Nya dan wujud-Nya adalah mahiah-Nya.[26]
Ibnu Sina dalam
membuktikan adanya Allah SWT. tidak perlu mencari dalil dengan salah satu
makhluknya, tetapi cukup dengan dalil wujud pertama yakni wajib al-wujud. Jagad
raya ini mumkin al-wujud yang memerlukan suatu sebab yang mengeluarkannya
menjadi wujud, karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian dalam
menetapkan yang pertama (Allah SWT) tidak perlu perenungan selain terhadap
wujud itu sendiri tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu
makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun
pembuktian dengan dalil di atas lebih kuat.[27]
Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan Al-Qur’an dalam surat
Al-Fushshilat ayat 53 berikut.
Artinya: “Kami
akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa
Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi
saksi atas segala sesuatu?
Tentang
sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari
segala sifat yang dikaitkannya dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha
sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah
dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas. Ibnu
Sina berusaha mengesankan Allah semutlak-mutlaknya dan ia juga memelihara
kesempurnaan Allah. [28]
Ada tiga
analisis yang bisa penulis simpulkan dari pemikiran filsafat Ibnu Sina tentang
ketuhanan ini. Pertama, mengenai filsafat wujud yang dibagi tiga oleh Ibnu
Sina, yang pertama dia meyakini bahwa Tuhan wajib al-wujud, artinya Tuhan
memiliki mahiah dan wujud yang bersatu dan tidak mungkin berpisah, meskipun
seperti apa wujud-Nya tidak boleh dibayangkan seperti wujud makhluk-Nya. Namun
yang pasti, Tuhan itu diyakini benar-benar ada. Kedua adalah mumkin al-wujud,
dimana suatu mahiah yang bisa memiliki wujud dan bisa pula tidak, jika Allah
menghendaki wujud dari mahiah tersebut, maka menjadilah bentuk dari mahiah
tersebut, namun jika Allah tidak menghendakinya, maka tidak akan ada wujudnya,
maka berbentuknya mahiah ini memerlukan sebab. Dengan demikian, Tuhan lah yang
menjadikan mumkin al-wujud memiliki wujud. Dan yang ketiga adalah mumtani
al-wujud atau mahiah yang mustahil memiliki wujud, namun menurut penulis ketika
status kemustahilan sesuatu naik menjadi mungkin, maka bisa saja wujudnya akan
tercipta. bahwasanya Ibnu Sina dalam berfilsafat tidak pernah lepas dari ajaran
Islam.
Analisa kedua
tentang dalil pembuktian adanya Tuhan yang dikemukan Ibnu Sina, pada dasarnya
ia hanya meyakini adanya Tuhan dengan wajib al-wujud, karena dengan kemutlakan
sifat tersebut Tuhan itu bisa diyakini keberadaannya, meskipun dengan melihat
dan mengamati ciptaannya juga bisa diketahui keberadaannya. Anlisa ketiga, Ibnu
Sina tetap mengedepankan ke Esaan Allah dalam filsafatnya. Ia menguatkan ke
Esaan Allah dengan pemikiran rasionalnya, sehingga meskipun corak pemikirannya
rasional, namun tidak pernah lari dari ajaran Islam.
3.
Emanasi
Emanasi
merupakan teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam
makhluk) dari Zat yang wajibul wujud (Zat yang mesti ada: Tuhan).[29]
Ibnu Sina, sebagaimana Al-farabi menganut filsafat emanasi. Filsafat
emanasi bukanlah hasil renungan Ibnu
Sina ataupun Al-Farabi, tetapi berasal dari ramuan Plotinus[30]
yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang Esa. Kemudian,
filsafat plotinus yang berprinsip bahwa “dari Yang Satu hanya satu yang
melimpah”. Ini di Islamkan oleh Ibnu Sina juga Al-Farabi bahwa Allah
menciptakan alam secara emanasi.[31]
Hal ini memungkinkan karena di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang
rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan
tujuannya berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Yang Esa Plotinus
sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah Pencipta yang aktif.
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga mengajukan emanasi ini untuk mentauhidkan
Allah semutlak-mutlaknya.[32]
Perbedaan
mendasar antara emanasi Plotinus dengan Ibnu Sina (juga Al-Farabi) adalah bagi Plotinus alam ini
hanya terpancar dari Yang Satu (Tuhan), yang mengesankan Allah tidak pencipta
dan tidak aktif. Hal ini ditangkap dari metafora yang ia gunakan bagaikan
mentari memancarkan sinarnya. Sementara itu dalam Islam, emanasi ini dalam
rangka menjelaskan cara Allah menciptakan alam.
Sejalan dengan
filsafat emanasi, alam ini kadim karena diciptakan oleh Allah sejak azali.
Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman,[33]
maka alam kadim dari segi zaman. Adapun dari segi esensi, sebagai hasil ciptaan
Allah, alam ini baharu.[34]
Analisa penulis
mengenai pemikiran Ibnu Sina tentang emanasi ini juga merupakan salah satu
usaha dia untuk memurnikan ke-Esaan Tuhan dalam menciptakan segala sesuatu yang
ia kehendaki, termasuk alam jagat raya ini. Ia merubah
pandangan dan keyakinan Plotinus yang memandang bahwa Tuhan itu tidak bisa
menciptakan sesuatu, termasuk alam ini yang tercipta dengan sendirinya dari
pancaran Tuhan dan tidak ada kuasa Tuhan dalam menciptkannya. Ibnu Sina menolak
pandangan yang seperti itu, ia memurnikan ke Esaan Tuhan dengan cara meyakini
bahwa Tuhan itu adalah aktif, tidak pasif seperti yang dikemukan Plotinus. Dia
meyakini bahwa alam ini diciptakan atas kehendak Tuhan dan Dia-lah yang
menciptakannya. Dengan demikian, pemikiran Ibnu Sina memang membenarkan dan
mengislamkan pandangan-pandangan filsuf Yunani yang keliru. Selanjutnya, alam
ini dihukumi kadim dari segi zaman, karena alam lebih dahulu ada dalam ucapan
Allah sebelum adanya zaman. Ketika alam benar-benar nyata terlihat seperti
sekarang ini, itulah alam yang disebut baharu sebagai ciptaan Allah. Kemudian
barulah adanya zaman.
4.
Jiwa
Keistimewaan
pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat jiwanya, karena kata jiwa sangat
banyak sekali dibahas dalam Al-Qur’an.[35]
Secara garis besar pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi dua, yaitu yang berkaitan
dengan fisika dan metafisika.
a.
Fisika, yang membicarakan tentang daya jiwa tumbuh-tumbuhan (nabatiah),
hewan (hayawaniah) dan manusia (insaniah).
1) Daya jiwa
tumbuh-tumbuhan (nabatiah), adalah daya yang terdapat dalam diri semua
makhluk hidup atau yang bernyawa. Daya ini terbagi tiga macam, yakni makan, tumbuh dan memproduksi. Daya jiwa ini
adalah tingakatan yang terendah. Dengan daya ini manusia
berpotensi untuk makan, tumbuh dan memproduksi sebagaimana tumbuh-tumbuhan.
2)
Daya jiwa binatang (hayawaniah), daya jiwa ini terdapat pada
hewan dan manusia, sedangkan pada tumbuhan tidak ada. Daya jiwa ini dibagi dua,
yakni menggerakkan dan menanggapi.[36]
Daya jiwa untuk
menggerakkan dibagi menjadi dua, yaitu:
a)
Membangkitkan, yaitu daya keinginan kecondongan yang mendorong
lahirnya gerakan. Yang kemudian melahirkan dua daya. Pertama, daya
keinginan yang membangkitkan gerakan
untuk memperoleh kebutuhan atau manfaat karena menginginkan kelezatan. Kedua,
daya keinginan yang membangkitkan gerakan untuk menghindari segala sesuatu
yang memudharatkan atau merusak karena menginginkan keselamatan.
b)
Melaksanakan, yaitu daya penggerak yang terdapat dalam urat-urat
syaraf sampai luar bagian badan. Dengan daya ini syaraf otot-otot melakukan
gerakan sesuai dengan tuntutan keinginan.[37]
Daya jiwa untuk
menanggap juga dibagi dua, yaitu.
a)
Menanggap dari luar, yaitu menanggap dari penginderaan terhadap
ransangan-ransangan yang datang dari luar. Disebut juga dengan kekuatan panca
indra yang lima.[38]
b)
Menanggap dari dalam, yaitu menanggap ransangan yang datang dari
dalam jiwa atau dirinya sendiri.[39]
Daya jiwa ini dibagi lima, yaitu:
(1)
Persepsi (al-hiss al-musytarak), yaitu daya jiwa yang
menerima seluruh gambaran yang terlukis di indra.
(2)
Fantasi (al-khayyal), yang menyimpan segala apa yang
diterima oleh persepsi.
(3)
Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang disimpan
dalam fantasi.[40]
(4)
Mendeteksi atau mengindetifikasi (wahmiyah), merupakan daya
jiwa hewan yang dapat memutuskan mana yang lawan dan kawan. Seperti
keharusan lari bagi kambing ketika melihat srigala. Doktrin wahm Ibnu
Sina ini dekat dengan “respon syaraf” subjek terhadap objek tertentu seperti
yang dikemukan oleh psikologi modern.[41]
Karena pemikiran Ibnu Sina memang dekat pemikiran para pakar modern.
(5)
Pemeliharaan (rekoleksi), yaitu daya jiwa yang memelihara
apa yang diperoleh atau ditanggapi oleh wahmiyah.[42]
Dengan
demikian, jiwa binatang lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan,
bukan hanya sekedar makan, tumbuh dan memproduksi, tetapi telah dapat bekerja
dan bertindak.
3)
Jiwa manusia (insaniyah), daya jiwa ini dibagi dua:
a)
Daya jiwa ‘Aamilah (akal/intelegensia praktis), yaitu daya
jiwa manusia yang punya kekuasaan atas badan manusia, dengan daya jiwa inilah
manusia melaksanakan perbuatan-perbuatan yang mengandung pertimbangan dan
pemikiran yang membedakannya dengan hewan. Akal praktis ini merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis kepada daya
penggerak.[43]
b)
Daya jiwa ‘Aalimah (akal intelegensia teoritis), yaitu daya
yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak.[44]
Ketika penulis
membaca dan menganalisa pemikiran Ibnu Sina mengenai fisika (daya-daya jiwa)
ini, yang terbayang oleh penulis adalah
prilaku dan sifat yang tampil atau terlihat dari setiap individu. Jika
seseorang dalam kehidupannya hanya mengutamakan dan hanya memikirkan makan,
ingin memproduksi, ataupun menghindari yang membahayakan bagi dirinya atau
sebaliknya selalu ingin mendapatkan sesuatu yang menyenangkan dan menguntungkan
dirinya, maka seseorang tersebut tidaklah beda dengan tumbuhan dan hewan.
Namun, ketika manusia bisa mengimbangi dua daya ini dengan kelebihan yang
diberikan Allah SWT, yaitu karunia akal, maka jadilah ia pribadi yang baik dan
berprilaku yang santun.
b.
Metafisika, yang membicarakan tentang hal-hal berikut:
1)
Wujud jiwa
Dalam
membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut:
a)
Dalil alam kejiwaan
Pada diri kita
ada peristiwa yang tidak mungkin ditafsirkan, kecuali sesudah mengakui adanya
jiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut ialah gerak dan pengetahuan. Gerak terbagi
menjadi dua jenis, yaitu:
(1)
Gerakan paksaan, yaitu gerakan yang timbul pada suatu benda
disebabkan adanya dorongan dari luar yang menyebabkan suatu benda bergerak.
(2)
Gerakan tidak paksaan, yaitu gerakan yang terjadi baik yang sesuai
dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerakan yang sesuai dengan hukum
alam, seperti batu jatuh dari atas ke bawah. Sementara itu, yang berlawanan
dengan hukum alam, seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal,
menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke
bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan
unsur jisim. Penggerak ini disebut dengan jiwa.[45]
Kemudian
pengetahuan tidak dimiliki oleh semua makhluk, tetapi hanya dimiliki oleh
sebagiannya. Yang memiliki pengetahuan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan
lain yang tidak terdapat pada lainnya.[46]
Menurut
penulis, mengenai pengetahuan yang tidak dimiliki oleh semua makhluk hidup bisa
dilihat dari perbedaan antara manusia dengan hewan ataupun tumbuhan. Manusia
memiliki jiwa untuk mendapatkan pengetahuan, sedangkan hewan dan tumbuhan tidak
memiliki jiwa tersebut, sehingga tidak ada bagi dua makhluk tersebut suatu
pengetahuan. Dengan demikian, tidak ada kewajiban bagi tumbuhan ataupun hewan
untuk mendapatkan suatu ilmu pengetahuan, berbeda dengan manusia yang dibekali
jiwa pengetahuan yang menyebabkan dia dibebani kewajiban untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Namun, untuk jiwa menggerakkan inilah yang dimiliki baik oleh
manusia ataupun hewan. Dengan demikian, jiwa terbukti berfungsi untuk
menggerakkan jisim dan keberadaan jiwa tidak
bisa dinafikan.
Kemudian Ibnu
Sina juga setuju dengan Aristoteles tentang pentingnya pengamatan indra untuk
memperoleh pengetahuan, tetapi ia tidak menganggapnya sebagai dasar pengetahuan
seperti Aristoteles yang menyatakan tanpa pengamatan indra tidak akan ada
pengetahuan atau pemikiran. Ibnu Sina hanya berpendapat bahwa indra adalah
tahap awal yang mesti menyiapkan jiwa untuk melakukan pengamatan dalam rangka
mendapatkan pengetahuan tersebut.[47]
b)
Konsep “aku” dan kesatuan gejala kejiwaan
Dalil ini oleh
Ibnu Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan
pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksud pada hakikatnya
adalah jiwanya, bukan jisimnya. Ketika Anda berkata, saya akan keluar atau saya
akan tidur, maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan
mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.[48]
c)
Dalil kontinuitas (al-istimar)
Dalil ini
mengatakan bahwa masa kita yang sekarang berisi juga masa lampau dan masa
depan. Kehidupan rohani kita pada sekarang ini ada hubungannya dengan kehidupan
kita yang kemarin, dan hubungan ini tidak terputus, bahkan juga ada hubungannya
dengan kehidupan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.[49]
Oleh sebab itu,
dalil ini didasarkan pada perbandingan jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa
mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita sekarang ini tidak sama
dengan kulit sepuluh tahun yang lalu karena telah mengalami perubahan, seperti
mengerut. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami
perubahan. Sedangkan jiwa bersifat kontinu (istimrar), tidak mengalami
perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita sekarang adalah jiwa sejak lahir dan
akan berlansung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa
berbeda dengan jasad.[50]
Penulis sepakat
dengan pemikiran seperti di atas, bahwasanya jiwa tidak akan pernah berubah
ataupun mati seperti jasad. Jasad semua manusia ketika masih kecil, muda dan
tua berbeda, bahkan ketika mati sekalipun habis dimakan hewan di dalam tanah.
Berbeda dengan jiwa yang sejak Allah tiupkan kepada manusia sejak dalam rahim
hingga mati tetap sama. Oleh sebab itu, antara jasad dengan jiwa tidak akan
pernah bersatu untuk selamanya.
d)
Dalil manusia terbang atau manusia melayang di udara
Dalil ini
menunjukkan daya kreasi Ibnu Sina yang sangat mengagumkan. Meskipun dasarnya
bersifat asumsi atau khayalan, namun tidak mengurangi kemampuannya dalam
memberikan keyakinan. Dalil tersebut mengatakan sebagai berikut:[51]
“Andaikan ada
seseorang yang mempunyai kekuatan yang penuh, baik akal maupun jasmani,
kemudian ia menutup matanya sehingga tidak dapat melihat sama sekali apa yang
ada disekelilingnya, kemudian ia diletakkan di udara atau dalam kekosongan,
sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau bentrokan ataupun
perlawanan, dan anggota-anggota badannya diatur sedemikian rupa sehingga tidak
sampai saling bersentuhan. Meskipun ini semua terjadi, orang tersebut tidak
akan ragu-ragu bahwa dirinya itu ada, meski ia sukar untuk menetapkan wujud
salah satu bagian badannya. Kalau pada saat itu ia mengkhayalkan
(memperkirakan) ada tangan atau kaki, maka ia tidak akan mengira bahwa itu
tangan dan kakinya. Dengan demikian, penetapan tentang wujud dirinya tidak
timbul dari indra atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain
yang berbeda sama sekali dengan badan, yaitu jiwa.[52]
Demikianlah
dalil-dalil yang dikemukakan Ibnu Sina sebagai bukti tentang adanya jiwa. Ia
sangat meyakini akan keberadaan jiwa dalam diri manusia, penulis juga memahami
bahwa jiwa sangat besar peranannya dalam jisim seseorang.
2)
Hakikat jiwa
Hakikat jiwa
yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi: “Kesempurnaan awal bagi jasad alami
yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya, definisi tersebut
belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad.
Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur, yaitu
materi (madat) atau form (shurat).
Materi adalah jasad manusia dan form adalah jiwa manusia. Form inilah
yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasinya
adalah hancurnya materi atau jasad akan membawa hancurnya form atau
jiwa.[53]
Justru itulah,
untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan jauhar
rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani,
tidak tersusun dari materi-materi sebagaimana jasad. Kesatuan antara keduanya
bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa
(roh).[54]
3)
Hubungan jiwa dengan jasad
Sebelum Ibnu
Sina, Aristoteles dan Plato telah membicarakan hubungan antara jiwa dengan
jasad. Aristoteles menggambarkan hubungan keduanya besifat esensial.
Sebaliknya, Plato seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan antara
keduanya bersifat accident karena jiwa dan jasad adalah dua substansi
yang berdiri sendiri.[55]
Ibnu Sina
menerima penekanan Aristoteles tentang eratnya hubungan antara jiwa dan jasad,
namun hubungan yang bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan
binasanya jasad. Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan Plato bahwa
keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membinasakan jiwa.[56]
Menurut Ibnu
Sina, selain eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga saling
mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad
merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan
diciptakan tanpa adanya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian,
tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad.[57]
4)
Kekekalan jiwa
Seperti yang
dipaparkan sebelumnya, jiwa manusia diciptakan setiap kali jasad yang akan
ditempatinya telah diadakan. Pendapat ini sekaligus menolak konsep Plato yang
berkesimpulan bahwa jiwa sudah ada di dalam idea sebelum jasad yang akan
ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima, maka akan terjadi adanya jiwa
tanpa jasad, atau adanya satu tubuh ditempati beberapa jiwa (form suatu
badan tidak mungkin menjadi form badan lain dalam waktu yang bersamaan).
Ibnu Sina kelihatannya
lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan Al-Qur’an.
Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan
hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan
menerima pembalasan (bahagia dan celakanya) di akhirat. Akan tetapi kekalnya
ini dikekalkan Allah (al-khulud). Jadi, jiwa adalah baharu karena
diciptakan (punya awal) dan kekal (tidak punya akhir).[58]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Ibnu Sina meyakini bahwa yang dibangkitkan di akhirat
kelak hanya roh.
Dari uraian di
atas, setelah penulis analisa dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Sina memandang
kedudukan jiwa sangat penting dan memiliki fungsi yang tidak kalah pentingnya.
Disamping itu, Ibnu Sina juga meyakini bahwa jiwa manusia tidak hancur seperti
hancurnya badan dan tidak akan dibangkitkan lagi di akhirat kelak. Hal tersebut
disebabkan karena jiwa bersifat kekal, sementara jasad tidak. Namun, kekalnya
jiwa tidaklah sama dengan kekalnya Allah SWT, karena jiwa dikekalkan Allah dan
ada permulaan atau penciptaannya. Sedangkan Allah tidak ada permulaan dan tidak
pula ada yang mengkekalkan-Nya.
Demikianlah
pembahasan Ibnu Sina, meskipun kebanyakan pemikiran filsafatnya telah
dikemukakan Al-farabi sebelumnya, namun ia telah berhasil memberikan uraian
secara rinci. Dan dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemikiran filsafat
Ibnu Sina tidak pernah lari pemikiran filsafat yang dikemukan oleh Al-Farabi,
karena secara tidak lansung Ibnu Sina juga pernah berguru kepada Al-Farabi
[1]SAMANIYAH (203
H/819 M - 395 H/1005 M). Wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah meliputi daerah
Khurasan (Irak) dan Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di sebelah timur
Baghdad. Ibukotanya adalah Bukhara. Dinasti Samaniyah didirikan oleh Ahmad bin
Asad bin Saman khudat, keturunan seorang bangsawan Balkh (Afghanistan Utara).
Puncak kejayaan tercapai pada masa pemerintahan Isma'il II al-Muntasir,
khalifah terakhir Samaniyah, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari
serangan Dinasti Qarakhan dan Dinasti Ghaznawi. Dinasti Samaniyah berakhir
setelah Isma'il II terbunuh pada 395 H/1005 M.
[2]Merupakan Raja
Dinasti Samani (Bukhara) yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 Hijriyah.
[3]Merupakan Raja
Dinasti Samani (Bukhara) yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 Hijriyah.
[4]A. Hanafi, Pengantar
Filsafat Islam.
[5]Nama daerah
sekarang adalah Baghdad
[6]Sirajudin Zar, op.cit.
[7]Busyairi
Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim.
[9]Nama lengkapnya
adalah Abu Sahl Isa bin Yahya Al-Masity Al-Jurjani.
[10]A. Hanafi, op.cit.
[11]Sirajudin Zar,
op.cit.
[12]Zarkasyi A.
Salam, Aliran Dan Teori Filsafat Islam.
[14]Sirajudin Zar,
op.cit.
[15]Ahmad Tafsir, Filsafat
Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James.
[16]Hamadzan
sekarang namanya Iran.
[17]Nama lengkapnya
adalah Abu Tahir Syamsud Daulah, yang merupakan penguasa atau pemerintah daerah
Hamadzan.
[18]Ahmad Tafsir, op.cit.
[19]A. Hanafi, op.cit.
[20]A. Hanafi, op.cit.
[21]Busyairi
Madjidi, op.cit.
[22]Sirajudin Zar, op.cit.
[24]Sirajudin Zar, op.cit.
[25]Harun Nasution,
Filsafat Agama.
[26]Harun Nasution,
op.cit.
[27]Sirajudin Zar, op.cit.
[28]Ibid.
[29]Ahmad Tafsir, op.cit.
[30]Plotinus
merupakan salah seorang penganut ajaran Neo Platonisme, yaitu fase mengulang
yang lama (tidak ada sesuatu baru yang diciptakan)
[31]Sirajudin Zar,
Ibid.
[33]Ibnu Sina
mendefinisikan zaman sebagai suatu ukuran (kadar) gerak yang bundar, dari segi
maju mundurnya.
[34]Sirahudin Zar, Ibid.
[36]Busyairi
Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim.
[38]Oemar Amin
Hoesin, Filsafat Islam.
[39]Busyairi
Madjidi, Ibid.
[41]M.M. Syarif, op.cit.
[42]Busyairi
Madjidi, op.cit.
[43]Al-Ghazali, Madarij
Al-Salikin.
[44]Busyairi
Madjidi, op.cit.
[45]Sirajudin Zar,
op.cit.
[46]A. Hanafi, op.cit.
[47]Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.
[48]Sirajudin Zar, op.cit.
[49]A. Hanafi, op.cit.
[50]Sirajudin Zar, op.cit.
[51]A. Hanafi,
op.cit.
[52]A. Hanafi, op.cit.
[53]Sirajudin Zar, op.cit.
[56]Ibid.
0 komentar