Kaedah Bayanatul Al-Faazh
KAEDAH
BAYANATUL ALFAAZH
1.
Bayanul Mujmal
Mujmal secara bahasa artinya adalah global atau tidak terperinci. Sedangkan
menurut istilah adalah lafaz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali jika
ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’).[1] Untuk
memahami mujmal diperlukan adanya penjelas (mubayyin) yang menerangkan
ketentuan sesuatu secara rinci, sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah. Karena
suatu ayat yang bersifat mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah sebelum ada
dalil yang menjelaskannya.
Bayan secara bahasa artinya mengungkapkan dan menjelaskan. Sedangkan menurut istilah, bayan adalah dasar-dasar dan
kaidah-kaidah untuk mengetahui cara menyampaikan satu makna dengan beberapa
cara yang sebagiannya berbeda dengan sebagian yang lain dalam menjelaskan segi
penunjukan terhadap keadaan makna tersebut.[2]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bayanul mujmal adalah memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an mengenai suatu
ketentuan yang hanya diterangkan secara garis besar saja. Karena banyak ungkapan
Al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian
oleh Sunnah dijelaskan dan dirinci ketentuan-ketentuannya. Misalnya perintah
shalat, haji, zakat dan puasa yang berbentuk mujmal, lalu datanglah hadits Nabi
dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan untuk memberikan penjelasan
rincinya.
Contoh:
Perintah shalat di dalam Al-Qur’an yang bersifat mujmal, Nabi bersabda:
صلوا كما رايتمونى اصلى
Artinya: “Lakukanlah
shalat, (dengan cara) sebagaimana kalian lihat ketika aku shalat”.[3]
Kemudian mengenai ibadah haji, Nabi bersabda:
خذوا عنى مناسككم
Artinya : “Ambillah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang
dikerjakan untuk ibadah haji”.[4]
Soal zakat dan jual beli juga begitu, disebut secara mujmal
kemudian dijelaskan oleh Sunnah yang menguraikan secara rinci mengenai batasan
dan ketentuan-ketentuannya, untuk mengatur tata pergaulan antar manusia.
Contoh lain adalah jinayat (hukum pidana). Al-Qur’an mula-mula
menentukan tentang wajibnya diyat, lalu Sunnah merinci berapa besarnya dan
menerangkan ketentuan-ketentuannya. Al-Qur’an juga menetapkan, terhadap kasus
pencideraan wajib dikenakan qishash, lantas Sunnah menguraikan
ketentuan-ketentuan mengenai tindak pencideraan ini, dirinci perihal kapan
diperbolehkan mengenakan sanksi qishash yang penuh dan kapan mengenakan sanksi
qishash yang kurang berupa diyat dan jumlahnya.[5]
Demikianlah, ungkapan-ungkapan yang bersifat mujmal di dalam
Al-Qur’an dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci ketentuan-ketentuan hukumnya
sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan (ibham).
2.
Taqyidul Mutlak
Taqyidul Mutlak adalah membatasi ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak (belum ada batasannya).
Yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu Taqyidul dan Mutlak seperti yang diungkapkan oleh pemakalah.
A.
Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mengenai pengertian Mutlaq dan Muqayyad pembanding sepakat dengan
apa yang dikemukakan oleh pemakalah. Namun dalam hal pengertian muqayyad yang artinya
pembatas, Abu Zahrah mengemukakan
pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan
bentuk pembatasan yang lainnya. Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat
diamati dari firman Allah surat An-Nisa’ ayat 92.
“Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu,
mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh
seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman
dan tidak sah memerdekakan hamba yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk
syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah
surat Al-Maidah ayat 89.[6]
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah
yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan
sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada
keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya
sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan janganlah sumpahmu.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar bisa kamu bersyukur
(kepada-Nya)”.
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar
kaffarat sumpah dengan ada qayyid dan bentuk syarat. Sebab, hal ini baru
dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi
pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah
surat Al-Baqarah ayat 187.
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan
dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini,
terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).[7]
B. Hukum Lafazh Mutlaq dan
Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan
kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga
hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Adapun bentuk lafaz
yang disepakati ialah:
a. Hukum dan sebabnya
sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh mutlaq kepada
muqayyad.
b. Hukum dan sebabnya
berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing
lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada
kemuqayyadannya.
c. Hukumnya berbeda
sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak
boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada
kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
Jika pada suatu tempat disebutkan dengan lafadz mutlaq, dan ditempat lain
dengan lafadz muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
a. Jika sebab dan hukum
sama, maka mutlaq harus ditarik ke muqayyad. Artinya muqayyad menjadi penjelas
terhadap mutlaq.
Contoh Mutlaq:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan)”.(Al-Maidah:3)
Contoh Muqayyad:
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi”. (Al-An’am:145)
Karena kedua ayat tersebut memiliki sebab yang sama yaitu hendak makan dan
berisi hukum yang sama yaitu haramnya darah, maka hukum mutlaq disandarkan
kepada hukum muqayyad, yaitu hanya darah mengalir yang diharamkan. Sedangkan
hati ataupun limpa yang merupakan darah yang tidak mengalir hukumnya halal
dimakan.[8]
b. Jika sebab dan hukum
berbeda, maka masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Artinya muqayyad tidak menjadi penjelas mutlaq.
Contoh mutlaq:
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah:38)
Contoh Muqayyad:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”.( Al-Maidah:6)
Contoh mutlaq surat Al-Maidah ayat 38 menjelaskan tentang potong tangan
bagi pencuri, sedangkan contoh muqayyad surat Al-Maidah ayat 6 menjelaskan
tentang membasuh tangan sampai siku dalam wudhu. Kedua ayat ini berlainan
sebab, yaitu hendak salat dan pencurian, dan berlainan pula dalam hukum, yaitu
wudhu dan pemotongan tangan. karena lafal mutlaq dan muqayyad pada ayat di atas
sebab dan hukumnya berbeda, maka mutlaq tidak dapat disandarkan kepada muqayyad.
Keduanya ditempatkan pada posisinya masing-masing. [9]
c. Jika sebab sama
sedangkan hukum berbeda, maka masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada
tempatnya sendiri.
Contoh mutlaq:
Artinya: “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
sapulah mukamu dan tanganmu”.( An-Nisa:43)
Contoh muqayyad:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan
sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.( Al-Maidah:6)
Muqayyad surat Al-Maidah ayat 6 tidak bisa menjadi penjelas bagi mutlaq
surat An-Nisa ayat 43, karena keduanya berbeda hukum yang dibicarakan, yaitu
tayamum pada surat An-Nisa ayat 43 dan wudhu pada surat Al-Maidah ayat 6
walaupun sebabnya sama, yaitu hendak shalat atau karena hadas (tidak suci).[10]
d. Jika hukum sama
sedangkan sebab berbeda, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
1) Menurut golongan Syafi’i
dan Maliki, mutlaq dibawa kepada muqayyad tanpa memerlukan dalil yang lain.
2) Menurut golongan
Hanafiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad
kecuali berdasarkan dalil.[11]
Contoh mutlaq:
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka
hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”.(Al-Mujadalah:3)
Contoh muqayyad:
Artinya: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (An-Nisa:92)
Kedua ayat tersebut berisi hukum yang sama. Yaitu pembebasan budak, sedangkan
sebabnya berlainan. Surat Al-Mujadalah ayat 3 karena zihar sedangkan surat
An-Nisa ayat 92 karena pembunuhan tidak sengaja.[12]
Menurut golongan Syafi’i, hamba sahaya dalam kifarat zihar haruslah hamba
sahaya yang beriman, tidak bisa hanya hamba sahaya saja, karena dalil yang
menunjukkan penggabungan ini adalah bahwa hukum kedua kifarat itu sama yakni
sama-sama memerdekakan budak walaupun sebabnya berbeda, maka hamba sahaya yang
dalam pengertian mutlaq dibawa kepada hamba sahaya dalam pengertian muqayyad,
yakni hamba sahaya mukmin.
Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiyah, pengertian hamba sahaya dalam
kifarat zihar tetap saja diartikan hamba sahaya, tidak berubah menjadi hamba
sahaya yang beriman. Dalam artian tidak ada penggabungan antara pengertian
mutlaq dan pengertian muqayyad. Keduanya memiliki arti masing-masing. Hal ini
didasarkan karena adanya perbedaan sebab antara mutlaq dan muqayyad, walaupun
hukum keduanya sama.
C. Contoh Taqyidul Mutlak
Contoh hadits
Rasulullah yang mentaqyid ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat Mutlak, antara lain
hadits:
“Tangan pencuri tidak
boleh dipotong, melainkan pada (pencurian sebilai) seperempat dinar atau
lebih”. (H.R. Mutafaq ‘alaih
menurut lafaz Muslim)
Hadits di atas mentaqyid surat Al-Maidah ayat 38, yaitu:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[13]
Contoh lain adalah sabda Rasulullah, berikut:
“Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam)
darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah
adalah hati dan limpa”.
Hadits ini mentaqyid ayat Al-qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan
darah, sebagaiman firman Allah SWT., dalam surat Al-Maidah ayat 3 berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi
...”[14]
3.
Takhshishul ‘Amm
Dalam kata takhshishul ‘amm ada dua makna yang perlu diketahui, yanki
takhshishul dan ‘amm.
A.
Pengertian Takhshishul
Takhsis adalah mengeluarkan
sebagian apa yang dicakup oleh lafaz ‘amm.[15]
Takhsis ini dilakukan jika ada dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan
tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut
bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang
diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan
menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.[16]
B. Macam-Macam Mukhassis
Mukhassis (yang
mengkhususkan) adakalanya bersifat muttasil, yaitu antara ‘amm dengan mukhassis
tidak dipisah oleh suatu hal. Dan adakalanya mukhassis tersebut bersifat
munfassil, yaitu antara ‘amm dengan mukhassis terpisah.
Mukhassis muttasil ada
lima macam, yaitu:
a. Istisna (pengecualian)
Contoh:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah:282)
Kemudian, yang
menjadi istisna dari lafaz tersebut adalah, lafaz berikutnya, namun masih dalam
satu ayat.
Artinya: “Kecuali
jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya”.(Al-Baqarah:282)[17]
b.
Sifat
Contoh:
Artinya: “Anak-anak
isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka
tidak berdosa kamu mengawininya”.(An-Nisa:23)[18]
Lafaz “allati dakhaltum bihinna” adalah sifat bagi lafaz “nisa’ikum”.
Maksudnya adalah anak istri perempuan istri yang telah digauli itu haram
dinikahi oleh suami dan halal jika belum menggaulinya.
c.
Syarat
Contoh:
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”.(Al-Baqarah:180)
Lafaz “in
taroka khairon (jika ia meninggalkan harta)”, adalah syarat dalam wasiat.
Karena jika tidak ada harta yang ditinggalkan, maka apa yang akan seseorang
wasiatkan.
d.
Ghayah (batas sesuatu)
Contoh:
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki”.(Al-Maidah:6)
e.
Badal ba’d min kull (sebagian yang menggantikan keseluruhan)
Contoh:
Artinya:
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah”.(Ali Imaran:97)[19]
Lafaz “man
istato’a” adalah badal dari “an-nas”.
Maka dari itu kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Sedangkan mukhassis
munfasil (mukhassis yang terdapat di tempat yang lain), baik ayat, hadits,
ijma’ ataupun qiyas. Adapun pada pemakalah telah disajikan mukhassis munfasil
dari ayat dan hadits, yaitu mentakhsis Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, mentakhsis
Al-Qur’an dengan Sunnah, mentakhsis Sunnah dengan Al-Qur’an, mentakhsis Sunnah
dengan Sunnah beserta contoh-contohnya. Namun yang pembanding temui, pemakalah
belum memasukkan mentakhsis Al-Qur’an dengan ijma’ dan mentakhsis Al-Qur’an
dengan qiyas.
Adapun contoh mentakhsis Al-Qur’an dengan ijma’ adalah surat
An-Nisa ayat 11 berikut:
Artinya: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan
...”.[20]
Berdasarkan ijma’, budak tidak mendapatkan warisan karena sifat
budak merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedangkan contoh mentakhsis Al-Qur’an dengan qiyas dapat dilihat
dalam surat An-Nur ayat 2, berikut:
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”.[21]
Budak laki-laki ditakhssis (dikeluarkan dari ketentuan ayat umum
ini) karena di qiyaskan kepada budak perempuan yang pentakhsissannya ditegaskan
dalam surat An-Nisa ayat 25 tentang kebolehan menikahi hamba sahaya dan
ketentuan hukuman bagi istri dari seorang hamba sahaya yang melakukan perbuatan
zina hukumannya adalah setengah dari hukuman perempuan merdeka yang tidak
bersuami.
C.
Pengertian ‘Amm
‘Amm adalah
lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada
pembatasan.[22]
Jika diartikan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, ‘aam adalah sesuatu
yang masih bersifat umum yang cakupan maknanya luas dan tidak memiliki batasan.
Keumuman dalam hal ini menyangkut sifat lafaz. Oleh karena itu, jika suatu
lafaz menunjukkan adanya batasan dari makna yang dimilikinya, seperti satu
orang lak-laki atau dua orang laki-laki, maka lafaz tersebut bukanlah ‘amm.
D.
Dalalah ‘Amm
Para ulama
sepakat bahwa lafaz ‘amm yang disertai qorinah (indikasi) yang menunjukkan
penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz
‘amm yang disertai qorinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus,
mempunyai dilalah yang khusus pula.Yang menjadi perdebatan disini adalah lafaz
‘amm yang mutlak tanpa disertai suatu qorinah yang menolak kemungkinan adanya
takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.[23]
Sebelumnya,
pemakalah telah menjelaskan pendapat yang datang dari ulama Hanafiyah yang
menyatakan bahwa dalalah ‘amm bersifat qath’iyyah, selama tidak ada dalil yang
mengubahnya.
Menurut Jumhur
Ulama (Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabillah), dilalah ‘amm adalah zhanni.
Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang
mempunyai kemungkinan ditakhsis. Dan kemungkinan ini pada lafaz ‘amm banyak
sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak bisa dikatakan dilalahnya
qath’i.[24]
Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas berkata:
Artinya: “Dalam
Al-Qur’an semua lafaz umum itu ada takhsisnya, kecuali Firman Allah SWT., “Dan
Allah maha mengetahui atas segala sesuatu.”
Oleh karena
itu, mereka mengeluarkan suatu kaedah yang berbunyi:
Artinya: “Tidaklah
ada (lafaz) yang umum kecuali sudah ditakhsis”.
Ulama Hanafiyah
membantah alasan Jumhur, “kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab
timbulnya dari pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil”.[25]
Dari kedua sikap
ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka
masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan
pendapat diantara mereka dalam beberapa masalah, yaitu antara lain:
a.
Apakah boleh lafaz ‘amm yang qath’i tsubut ditakhsis oleh dalil
zhanni?
b.
Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafaz ‘amm di suatu tempat
dan di tempat lain menggunakan lafaz khas, yang satu sama lainnya saling
bertentangan. Apakah hal ini dikatakan sebagai ta’arud (saling bertentangan)?[26]
Hal ini lah
yang dijelaskan oleh pemakalah pada halaman 15.
E.
Contoh Takhssisul ‘Amm
Contoh pertama:
Artinya: “Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu :
bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”.
Kemudian ayat
ini ditakhsis dengan hadits Nabi SAW. berikut ini:
“Pembunuh tidak
berhak menerima harta warisan”.(H.R Ahmad)[27]
Hadits ini mengkhususkan
firman Allah SWT. mengenai pembagian harta warisan yang diberikan kepada anak
laki-laki dan perempuan yang bukan pembunuh. Maksudnya, anak-anak yang bukan
pembunuh daripada orang tuanya, karena anak yang membunuh orang tuanya tidak
akan mendapatkan harta warisan apa-apa dari peninggalan orang tuanya.
Contoh kedua:
Artinya: “Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”.(Al-Baqarah:221)
Kemudian ayat
ini ditakhsis dengan surat Al-Maidah ayat 5 berikut:
Artinya: “(Dan
Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita
yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang
yang diberi Al kitab sebelum kamu”.[28]
Sehingga di
sini ada pemaknaan boleh menikahi orang selain Islam asalkan masih menjadi
ahlul kitab yakni agamanya (Nabi Isa).
Contoh ketiga:
“Bagian apa
saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai”. (Abu daud
dan Tarmizi)
Hadits ini
ditakhsis oleh surat An-Nahl ayat 80 berikut:
Artinya: “Dan
(dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat
rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”.[29]
[1]Rachmat
Syafe’i.
[2]http://ilmubalagoh-rizky.blogspot.com/2009/09/pengertian-ilmu-balagoh.html
[3]Agus Solahudin,
dkk.
[5]http://zie89.blogspot.com/2010/02/mujmal-dan-mubayyan.html
[6]http://el-hakim22.blogspot.com/2011/06/mutlaq-muqoyyad.html
[7]http://el-hakim22.blogspot.com/2011/06/mutlaq-muqoyyad.html
[8]Abdul Wahhab
Khallaf.
[9]Manna Khalil
Al-Qattan.
[13]Agus Solahudin,
dkk., op.cit.
[15]Manna Khalil
Al-Qattan, op,cit.
[16]http://jerryleopard.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[17]Manna Khalil
Al-Qattan, op.cit.
[20]Manna Khalil
Al-Qattan, op.cit.
[22]Manna Khalil
Al-Qattan, op.cit.
[23]Rachmat
Syafe’i, op.cit.
[27]Agus Solahudin,
op.cit.
[29]Manna Khalil
Al-Qattan, op.cit.
0 komentar