Kaedah Bayanatul Al-Faazh


KAEDAH BAYANATUL ALFAAZH

1.    Bayanul Mujmal
Mujmal secara bahasa artinya adalah global atau tidak terperinci. Sedangkan menurut istilah adalah lafaz yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali jika ada penafsiran dari pembuat mujmal (Syari’).[1] Untuk memahami mujmal diperlukan adanya penjelas (mubayyin) yang menerangkan ketentuan sesuatu secara rinci, sehingga dapat dijadikan sebagai hujjah. Karena suatu ayat yang bersifat mujmal tidak bisa dijadikan sebagai hujjah sebelum ada dalil yang menjelaskannya.
Bayan secara bahasa artinya mengungkapkan dan menjelaskan. Sedangkan menurut istilah, bayan adalah dasar-dasar dan kaidah-kaidah untuk mengetahui cara menyampaikan satu makna dengan beberapa cara yang sebagiannya berbeda dengan sebagian yang lain dalam menjelaskan segi penunjukan terhadap keadaan makna tersebut.[2]
Jadi, dapat disimpulkan bahwa bayanul mujmal adalah memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an mengenai suatu ketentuan yang hanya diterangkan secara garis besar saja. Karena banyak ungkapan Al-Qur’an mengenai hukum-hukum taklifi yang berbentuk mujmal, yang kemudian oleh Sunnah dijelaskan dan dirinci ketentuan-ketentuannya. Misalnya perintah shalat, haji, zakat dan puasa yang berbentuk mujmal, lalu datanglah hadits Nabi dalam bentuk ucapan dan sekaligus tindakan untuk memberikan penjelasan rincinya.
Contoh:
Perintah         shalat di dalam Al-Qur’an yang bersifat mujmal, Nabi bersabda:

صلوا كما رايتمونى اصلى
 Artinya: “Lakukanlah shalat, (dengan cara) sebagaimana kalian lihat ketika aku shalat”.[3]
Kemudian mengenai ibadah haji, Nabi bersabda:
خذوا عنى مناسككم
Artinya : “Ambillah olehmu dariku perbuatan-perbuatan yang dikerjakan untuk ibadah haji”.[4]
Soal zakat dan jual beli juga begitu, disebut secara mujmal kemudian dijelaskan oleh Sunnah yang menguraikan secara rinci mengenai batasan dan ketentuan-ketentuannya, untuk mengatur tata pergaulan antar manusia.
Contoh lain adalah jinayat (hukum pidana). Al-Qur’an mula-mula menentukan tentang wajibnya diyat, lalu Sunnah merinci berapa besarnya dan menerangkan ketentuan-ketentuannya. Al-Qur’an juga menetapkan, terhadap kasus pencideraan wajib dikenakan qishash, lantas Sunnah menguraikan ketentuan-ketentuan mengenai tindak pencideraan ini, dirinci perihal kapan diperbolehkan mengenakan sanksi qishash yang penuh dan kapan mengenakan sanksi qishash yang kurang berupa diyat dan jumlahnya.[5]
Demikianlah, ungkapan-ungkapan yang bersifat mujmal di dalam Al-Qur’an dijelaskan oleh Sunnah dengan merinci ketentuan-ketentuan hukumnya sedemikian rupa sehingga tak ada lagi kekaburan (ibham).
2.    Taqyidul Mutlak
Taqyidul Mutlak adalah membatasi ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mutlak (belum ada batasannya). Yang merupakan gabungan dari dua kata yaitu Taqyidul dan Mutlak seperti yang diungkapkan oleh pemakalah.
A.  Pengertian Mutlaq dan Muqayyad
Mengenai pengertian Mutlaq dan Muqayyad pembanding sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh pemakalah. Namun dalam hal pengertian muqayyad yang artinya pembatas, Abu Zahrah mengemukakan pembatasan ini terdiri dari sifat, hal (keadaan), ghayah, syarat, atau dengan bentuk pembatasan yang lainnya. Penggunaan sifat sebagai pembatasan dapat diamati dari firman Allah surat An-Nisa’ ayat 92.
“Barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.”
Kata raqabah dalam ayat ini memakai qayyid dalam bentuk sifat, yaitu, mu’minah (beriman). Jadi, ayat ini memerintahkan kepada orang yang membunuh seorang mukmin secara tidak sengaja untuk memerdekan hamba sahaya yang beriman dan tidak sah memerdekakan hamba yang tidak beriman. Contoh qayyid dalam bentuk syarat dapat diamati dalam kasus kaffarat sumpah, seperti pada firman Allah surat Al-Maidah ayat 89.[6]
Artinya: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan janganlah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar bisa kamu bersyukur (kepada-Nya)”.
Ayat ini menjadi landasan tentang bolehnya puasa tiga hari untuk membayar kaffarat sumpah dengan ada qayyid dan bentuk syarat. Sebab, hal ini baru dilakukan ketika tidak mampu memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Adapun contoh muqayyad dalam bentuk ghayyah dapat diamati pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 187.
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dalam ayat ini terdapat perintah menyempurnakan puasa yang dihubungkan dengan batas waktu (ghayah), yaitu di al-lail (malam). Atas dasar ini, terlarang melakukan puasa washal (puasa sepanjang hari).[7]
B.   Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad
Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyad itu berlaku pada kemuqayyadannya. Adapun bentuk lafaz yang disepakati ialah:
a.    Hukum dan sebabnya sama, di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad.
b.    Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh, yakni mutlaq tetap pada kemutlakannya dan muqayyad tetap pada kemuqayyadannya.
c.    Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini, para ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaq kepada muqayyad, masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan kemuqayyadannya.
Jika pada suatu tempat disebutkan dengan lafadz mutlaq, dan ditempat lain dengan lafadz muqayyad, maka ada empat kemungkinan:
a.    Jika sebab dan hukum sama, maka mutlaq harus ditarik ke muqayyad. Artinya muqayyad menjadi penjelas terhadap mutlaq.
Contoh Mutlaq:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)”.(Al-Maidah:3)
              Contoh Muqayyad:
Artinya: “Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepada-Ku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi”. (Al-An’am:145)
Karena kedua ayat tersebut memiliki sebab yang sama yaitu hendak makan dan berisi hukum yang sama yaitu haramnya darah, maka hukum mutlaq disandarkan kepada hukum muqayyad, yaitu hanya darah mengalir yang diharamkan. Sedangkan hati ataupun limpa yang merupakan darah yang tidak mengalir hukumnya halal dimakan.[8]
b.    Jika sebab dan hukum berbeda, maka masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri. Artinya muqayyad tidak menjadi penjelas mutlaq.
Contoh mutlaq:

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah:38)
Contoh Muqayyad:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”.( Al-Maidah:6)
Contoh mutlaq surat Al-Maidah ayat 38 menjelaskan tentang potong tangan bagi pencuri, sedangkan contoh muqayyad surat Al-Maidah ayat 6 menjelaskan tentang membasuh tangan sampai siku dalam wudhu. Kedua ayat ini berlainan sebab, yaitu hendak salat dan pencurian, dan berlainan pula dalam hukum, yaitu wudhu dan pemotongan tangan. karena lafal mutlaq dan muqayyad pada ayat di atas sebab dan hukumnya berbeda, maka mutlaq tidak dapat disandarkan kepada muqayyad. Keduanya ditempatkan pada posisinya masing-masing. [9]
c.    Jika sebab sama sedangkan hukum berbeda, maka masing-masing mutlaq dan muqayyad tetap pada tempatnya sendiri.
Contoh mutlaq:
Artinya: “Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu”.( An-Nisa:43)
               Contoh muqayyad:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.( Al-Maidah:6)
Muqayyad surat Al-Maidah ayat 6 tidak bisa menjadi penjelas bagi mutlaq surat An-Nisa ayat 43, karena keduanya berbeda hukum yang dibicarakan, yaitu tayamum pada surat An-Nisa ayat 43 dan wudhu pada surat Al-Maidah ayat 6 walaupun sebabnya sama, yaitu hendak shalat atau karena hadas (tidak suci).[10]
d.   Jika hukum sama sedangkan sebab berbeda, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat:
1)   Menurut golongan Syafi’i dan Maliki, mutlaq dibawa kepada muqayyad tanpa memerlukan dalil yang lain.
2) Menurut golongan Hanafiyah, mutlaq tetap pada tempatnya sendiri, tidak dibawa kepada muqayyad kecuali berdasarkan dalil.[11]
Contoh mutlaq:
Artinya: “Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”.(Al-Mujadalah:3)
Contoh muqayyad:
Artinya: “Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman”. (An-Nisa:92)
Kedua ayat tersebut berisi hukum yang sama. Yaitu pembebasan budak, sedangkan sebabnya berlainan. Surat Al-Mujadalah ayat 3 karena zihar sedangkan surat An-Nisa ayat 92 karena pembunuhan tidak sengaja.[12]
Menurut golongan Syafi’i, hamba sahaya dalam kifarat zihar haruslah hamba sahaya yang beriman, tidak bisa hanya hamba sahaya saja, karena dalil yang menunjukkan penggabungan ini adalah bahwa hukum kedua kifarat itu sama yakni sama-sama memerdekakan budak walaupun sebabnya berbeda, maka hamba sahaya yang dalam pengertian mutlaq dibawa kepada hamba sahaya dalam pengertian muqayyad, yakni hamba sahaya mukmin.
Menurut golongan Hanafiyah dan Malikiyah, pengertian hamba sahaya dalam kifarat zihar tetap saja diartikan hamba sahaya, tidak berubah menjadi hamba sahaya yang beriman. Dalam artian tidak ada penggabungan antara pengertian mutlaq dan pengertian muqayyad. Keduanya memiliki arti masing-masing. Hal ini didasarkan karena adanya perbedaan sebab antara mutlaq dan muqayyad, walaupun hukum keduanya sama.
C.  Contoh Taqyidul Mutlak
Contoh hadits Rasulullah yang mentaqyid ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat Mutlak, antara lain hadits:


“Tangan pencuri tidak boleh dipotong, melainkan pada (pencurian sebilai) seperempat dinar atau lebih”. (H.R. Mutafaq ‘alaih menurut lafaz Muslim)
Hadits di atas mentaqyid surat Al-Maidah ayat 38, yaitu:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.[13]
Contoh lain adalah sabda Rasulullah, berikut:

Telah dihalalkan bagi kamu dua (macam) bangkai dan dua (macam) darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedangkan dua darah adalah hati dan limpa”.
Hadits ini mentaqyid ayat Al-qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaiman firman Allah SWT., dalam surat Al-Maidah ayat 3 berikut:
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi ...”[14]

3.    Takhshishul ‘Amm
Dalam kata takhshishul ‘amm ada dua makna yang perlu diketahui, yanki takhshishul dan ‘amm.
A.  Pengertian Takhshishul
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian apa yang dicakup oleh lafaz ‘amm.[15] Takhsis ini dilakukan jika ada dua dalil yang secara zhahir berbenturan dan tidak mungkin dilakukan usaha kompromi, namun satu diantara dalil tersebut bersifat umum dan yang lain bersifat khusus, maka dalil yang khusus itulah yang diamalkan untuk mengatur hal yang khusus. Sedangkan dalil yang umum diamalkan menurut keumumannya sesudah dikurangi dengan ketentuan yang khusus.[16]
B.  Macam-Macam Mukhassis
Mukhassis (yang mengkhususkan) adakalanya bersifat muttasil, yaitu antara ‘amm dengan mukhassis tidak dipisah oleh suatu hal. Dan adakalanya mukhassis tersebut bersifat munfassil, yaitu antara ‘amm dengan mukhassis terpisah.
Mukhassis muttasil ada lima macam, yaitu:
a.    Istisna (pengecualian)
Contoh:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah:282)
Kemudian, yang menjadi istisna dari lafaz tersebut adalah, lafaz berikutnya, namun masih dalam satu ayat.
Artinya: “Kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya”.(Al-Baqarah:282)[17]
b.    Sifat
Contoh:
Artinya: “Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya”.(An-Nisa:23)[18]
Lafaz “allati dakhaltum bihinna” adalah sifat bagi lafaz “nisa’ikum”. Maksudnya adalah anak istri perempuan istri yang telah digauli itu haram dinikahi oleh suami dan halal jika belum menggaulinya.
c.    Syarat
Contoh:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.(Al-Baqarah:180)
Lafaz “in taroka khairon (jika ia meninggalkan harta)”, adalah syarat dalam wasiat. Karena jika tidak ada harta yang ditinggalkan, maka apa yang akan seseorang wasiatkan.
d.   Ghayah (batas sesuatu)
Contoh:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.(Al-Maidah:6)
e.    Badal ba’d min kull (sebagian yang menggantikan keseluruhan)
Contoh:
Artinya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah”.(Ali Imaran:97)[19]
Lafaz “man istato’a”  adalah badal dari “an-nas”. Maka dari itu kewajiban haji hanya khusus bagi mereka yang mampu.
Sedangkan mukhassis munfasil (mukhassis yang terdapat di tempat yang lain), baik ayat, hadits, ijma’ ataupun qiyas. Adapun pada pemakalah telah disajikan mukhassis munfasil dari ayat dan hadits, yaitu mentakhsis Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, mentakhsis Al-Qur’an dengan Sunnah, mentakhsis Sunnah dengan Al-Qur’an, mentakhsis Sunnah dengan Sunnah beserta contoh-contohnya. Namun yang pembanding temui, pemakalah belum memasukkan mentakhsis Al-Qur’an dengan ijma’ dan mentakhsis Al-Qur’an dengan qiyas.
Adapun contoh mentakhsis Al-Qur’an dengan ijma’ adalah surat An-Nisa ayat 11 berikut:
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan ...”.[20]
Berdasarkan ijma’, budak tidak mendapatkan warisan karena sifat budak merupakan faktor penghalang hak waris.
Sedangkan contoh mentakhsis Al-Qur’an dengan qiyas dapat dilihat dalam surat An-Nur ayat 2, berikut:
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera”.[21]
Budak laki-laki ditakhssis (dikeluarkan dari ketentuan ayat umum ini) karena di qiyaskan kepada budak perempuan yang pentakhsissannya ditegaskan dalam surat An-Nisa ayat 25 tentang kebolehan menikahi hamba sahaya dan ketentuan hukuman bagi istri dari seorang hamba sahaya yang melakukan perbuatan zina hukumannya adalah setengah dari hukuman perempuan merdeka yang tidak bersuami.
C.  Pengertian ‘Amm
‘Amm adalah lafaz yang menghabiskan atau mencakup segala apa yang pantas baginya tanpa ada pembatasan.[22] Jika diartikan dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, ‘aam adalah sesuatu yang masih bersifat umum yang cakupan maknanya luas dan tidak memiliki batasan. Keumuman dalam hal ini menyangkut sifat lafaz. Oleh karena itu, jika suatu lafaz menunjukkan adanya batasan dari makna yang dimilikinya, seperti satu orang lak-laki atau dua orang laki-laki, maka lafaz tersebut bukanlah ‘amm.
D.  Dalalah ‘Amm
Para ulama sepakat bahwa lafaz ‘amm yang disertai qorinah (indikasi) yang menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Merekapun sepakat bahwa lafaz ‘amm yang disertai qorinah yang menunjukkan bahwa yang dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula.Yang menjadi perdebatan disini adalah lafaz ‘amm yang mutlak tanpa disertai suatu qorinah yang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang mencakup satuan-satuannya.[23]
Sebelumnya, pemakalah telah menjelaskan pendapat yang datang dari ulama Hanafiyah yang menyatakan bahwa dalalah ‘amm bersifat qath’iyyah, selama tidak ada dalil yang mengubahnya.
Menurut Jumhur Ulama (Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabillah), dilalah ‘amm adalah zhanni. Mereka beralasan, dilalah ‘amm itu termasuk bagian dilalah zahir, yang mempunyai kemungkinan ditakhsis. Dan kemungkinan ini pada lafaz ‘amm banyak sekali. Selama kemungkinan tetap ada, maka tidak bisa dikatakan dilalahnya qath’i.[24] Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas berkata:
Artinya: “Dalam Al-Qur’an semua lafaz umum itu ada takhsisnya, kecuali Firman Allah SWT., “Dan Allah maha mengetahui atas segala sesuatu.”
Oleh karena itu, mereka mengeluarkan suatu kaedah yang berbunyi:
Artinya: “Tidaklah ada (lafaz) yang umum kecuali sudah ditakhsis”.
Ulama Hanafiyah membantah alasan Jumhur, “kemungkinan itu tidak dapat dibenarkan, sebab timbulnya dari pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil”.[25]
Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada perbedaan pendapat diantara mereka dalam beberapa masalah, yaitu antara lain:
a.    Apakah boleh lafaz ‘amm yang qath’i tsubut ditakhsis oleh dalil zhanni?
b.    Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafaz ‘amm di suatu tempat dan di tempat lain menggunakan lafaz khas, yang satu sama lainnya saling bertentangan. Apakah hal ini dikatakan sebagai ta’arud (saling bertentangan)?[26]
Hal ini lah yang dijelaskan oleh pemakalah pada halaman 15.
E.   Contoh Takhssisul ‘Amm
Contoh pertama:
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan”.
Kemudian ayat ini ditakhsis dengan hadits Nabi SAW. berikut ini:
“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”.(H.R Ahmad)[27]
Hadits ini mengkhususkan firman Allah SWT. mengenai pembagian harta warisan yang diberikan kepada anak laki-laki dan perempuan yang bukan pembunuh. Maksudnya, anak-anak yang bukan pembunuh daripada orang tuanya, karena anak yang membunuh orang tuanya tidak akan mendapatkan harta warisan apa-apa dari peninggalan orang tuanya.
Contoh kedua: 
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman”.(Al-Baqarah:221)
Kemudian ayat ini ditakhsis dengan surat Al-Maidah ayat 5 berikut:
Artinya: “(Dan Dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu”.[28]
Sehingga di sini ada pemaknaan boleh menikahi orang selain Islam asalkan masih menjadi ahlul kitab yakni agamanya (Nabi Isa).
Contoh ketiga:

“Bagian apa saja yang dipotong dari hewan ternak hidup maka ia adalah bangkai”. (Abu daud dan Tarmizi)
Hadits ini ditakhsis oleh surat An-Nahl ayat 80 berikut: 
Artinya: “Dan (dijadikan-Nya pula) dari bulu domba, bulu onta dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu)”.[29]


[1]Rachmat Syafe’i.
[2]http://ilmubalagoh-rizky.blogspot.com/2009/09/pengertian-ilmu-balagoh.html
[3]Agus Solahudin, dkk.
[4]Ibid., h. 80
[5]http://zie89.blogspot.com/2010/02/mujmal-dan-mubayyan.html
[6]http://el-hakim22.blogspot.com/2011/06/mutlaq-muqoyyad.html
[7]http://el-hakim22.blogspot.com/2011/06/mutlaq-muqoyyad.html
[8]Abdul Wahhab Khallaf.
[9]Manna Khalil Al-Qattan.
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Ibid.
[13]Agus Solahudin, dkk., op.cit.
[14]Ibid.
[15]Manna Khalil Al-Qattan, op,cit.
[16]http://jerryleopard.blogspot.com/2011/12/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[17]Manna Khalil Al-Qattan, op.cit.
[18]Ibid.
[19]Ibid.
[20]Manna Khalil Al-Qattan, op.cit.
[21]Ibid.
[22]Manna Khalil Al-Qattan, op.cit.
[23]Rachmat Syafe’i, op.cit.
[24]Ibid.
[25]Ibid.
[26]Ibid.
[27]Agus Solahudin, op.cit.
[28]Ibid.
[29]Manna Khalil Al-Qattan, op.cit.

Share:

0 komentar