Khalifah Ali Bin Abi Thalib
SEJARAH
PERJUANGAN ALI BIN ABI THALIB
A.
Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Abi Thalib bin Abdul
Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Luay bin
Ghaib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar.[1]
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hijaz, Jazirah Arab,
pada tanggal 13 Rajab. Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian
Muhammad SAW. sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Ali dilahirkan di
dalam Ka’bah dan mempunyai nama kecil Haidarah. Haydar yang berarti singa, hal
ini dikarenakan keluarga Abu Thalib memiliki harapan untuk mempunyai penerus
yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy
Mekkah. Kemudian setelah ia dewasa ia mempunyai beberapa nama panggilan. Ia dipanggil
juga dengan “Abul Hasan” dan “Abul Husein” yang diambil dari nama dua orang
putranya, yaitu Al-Hasan dan Al-Husein. Ketika Rasulullah SAW., masih hidup,
Al-Hasan memanggil ayahnya “Abul Husain” dan “Al-Husain” memanggil ayahnya “Abul
Hasan”. Selain itu, Ali juga mempunyai nama panggilan yang diberikan oleh
Rasulullah SAW., yaitu “Abu Turab”. Abu bermakna “Bapak” dan Turab bermakna
“tanah, pasir atau debu”.[2]
Ibu beliau bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin
Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari wanita Bani Hasyim pertama yang menikah
dengan pria Bani Hasyim. Sebelum itu telah menjadi kebiasaan bagi pria Bani
Hasyim menikah dengan wanita Quraisy lain yang bukan keturunan Bani Hasyim. Ayah
beliau bernama Abu Thalib, dia adalah paman kandung yang sangat menyayangi
Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Thalib memiliki beberapa orang saudara
laki-laki, yaitu Thalib, Aqiel dan Ja’far. Mereka semua lebih tua dari beliau,
masing-masing terpaut sepuluh tahun. Kemudian beliau juga memiliki dua orang
saudara perempuan, yaitu Ummu Hani dan Jumanah.[3]
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan
bagi Rasulullah SAW., karena beliau tidak mempunyai anak laki-laki. Untuk
meringankan beban Abu Thalib yang mempunyai anak banyak, Rasulullah SAW., bersama
istri beliau Khadijah mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus
untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau
kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama dengan Rasulullah
SAW.[4]
Sejak kecil Ali telah menunjukkan pemikirannya yang
kritis dan brilian. Kesederhanaan, kerendahan hati, ketenangan dan kecerdasan serta
wawasan beliau yang sangat luas, membuatnya istimewa diantara para sahabat
Rasulullah lainnya. Kemudian, didikan langsung dari Rasulullah SAW., kepada Ali
menjadikan beliau seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak, fasih
dalam berbicara, dan salah satu orang yang paling banyak meriwayatkan hadits
Rasulullah SAW. Sehingga Ali menempati posisi yang unik sebagai intelektual
terbesar diantara para sahabat Nabi. Kenyataan ini dikuatkan oleh Nabi dengan
ucapan beliau berikut: “Aku menjadi gudang ilmu pengetahuan, sedangkan Ali
menjadi gerbangnya.”[5]
Ali sangat menonjol pada waktu itu, baik dalam hal
menggunakan pedang maupun dalam menggunakan pena. Kata-katanya menjadi buah
mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Karena ilmu,
kebijaksanaan dan kecerdasannya, maka nasehatnya sangat dihargai oleh khalifah Abu
Bakar dan Umar, dan dia menempati kedudukan sebagai penasehat utama di dalam kekhalifahan
mereka.[6] Selain
itu Ali adalah orang selalu hadir dalam peperangan dan berada di barisan paling
depan pada setiap peperangan yang dipimpin Rasulullah SAW.
Ali bin Abi Thalib masuk Islam saat beliau berusia
sepuluh tahun. Beliau merupakan anak yang pertama kali masuk Islam, sebagaimana
Khadijah adalah wanita pertama yang masuk Islam, Zaid bin Haritsah adalah budak
pertama yang masuk Islam dan Abu Bakar adalah lelaki merdeka yang pertama kali
masuk Islam. Ali bin Abi Thalib memeluk Islam dalam usia muda disebabkan ia
berada di bawah tanggungan Rasulullah SAW.[7]
B.
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah tidak
semulus pengangkatan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di
tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman bin Affan,
pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah.
Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu
persatu yang ada di kota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair,
Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khathab agar bersedia menjadi khalifah,
namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan
Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ali didatangi beberapa kali
oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun,
Ali menolak. Sebab, Ali menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui
musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan
tetapi, setelah massa mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai
pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia
dibai’at menjadi khalifah.[8] Ia
memangku jabatan itu mulai 24 Juni 656 M /35 H.[9]
Ali dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan
Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada
beberapa orang sahabat senior, seperti Abdullah bin Umar bin Khathab, Muhammad
bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqash, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam
yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali. Abdullah dan
Saad misalnya bersedia membai’at kalau seluruh rakyat sudah membai’at.
Dengan demikian, Ali tidak dibai’at oleh kaum muslimin
secara aklamasi karena banyak sahabat senior ketika itu tidak barada di kota
Madinah, mereka tersebar di wilayah-wilayah taklukan baru, karena wilayah Islam
sudah meluas ke luar kota Madinah sehingga umat Islam tidak hanya berada di
tanah Hijaz (Mekkah, Madinah, dan Thaif), tetapi sudah tersebar ke Jazirah Arab
dan di luarnya. Salah seorang tokoh yang menolak untuk membai’at Ali dan menunjukkan sikap
konfrontatif adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Alasan yang dikemukakannya adalah
Ali bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman.[10]
Dengan demikian dapat diketahui bahwasanya Ali tidak
mendapatkan pengakuan dari beberapa sahabat penting di Madinah, ditambah lagi
dari penduduk wilayah Syam. Maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa
pemerintahan Ali inilah yang paling tidak stabil.[11] Selama
masa pemerintahannya, ia menghadapi beberapa peperangan dan berakhir dalam
waktu enam tahun.
Proses pengangkatan Ali sebagai khalifah, menurut
Al-Maudadi, cukup demokratis. Karena pembaiatan Ali dilakukan oleh sebagian
besar sahabat dan diakui oleh umat Islam di daerah-daerah kecuali daerah Siria.
Setelah dibaiat menjadi khalifah, Ali menyampaikan pidato pertamanya yang
menggambarkan ketaatannya dalam menjalankan agama, namun walaupun ia dibaiat
oleh mayoritas rakyat, tetapi beberapa sahabat senior saat itu tidak memberikan
baiat kepadanya. Maka tidak mengherankan pemerintahan Ali yang paling tidak
stabil, ia dihadapkan pada konflik politik yang berkepanjangan.
Dalam menjalankan pemerintahanpun, khalifah Ali
menjalankan prinsip demokratis. Hal itu dapat dilihat dari sikapnya dalam
menghadapi pemberontakan Thalhah Zubair cukup diselesaikan secara damai, karena
Ali ingin menghindari perang, tetapi tidak diindahkan mereka. Demikian juga
waktu menghadapi Muawiyyah yang menuntutnya meletakkan jabatan. Khalifah Ali
ingin menghindari pertumpahan darah dan perselisihan itu cukup diselesaikan
dengan damai. Tetapi Muawiyyah tidak menyetujui perdamaian dengan syarat
apapun. Akhirnya baik dalam menghadapi tantangan Thalhah dan Zubair maupun
Muawiyyah, masing-masing diselesaikan dengan perang.[12]
C.
Kebijaksanaan Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah
Kebijaksanaannya dimulai dengan memberikan tunjangan
kepada seluruh kaum muslimin, yang diambil dari Baitul Mal, sebagaimana pernah
ditempuh oleh pendahulunya, Abu Bakar As-Shiddiq. Khalifah Abu Bakar ra.
memberikan tunjangan kepada segenap kaum muslimin dari Baitul-Mal secara merata
tanpa pandang bulu, dengan tidak membedakan antara mereka yang lebih dahulu
masuk Islam dengan orang-orang yang belakangan masuk Islam.[13]
Di masa Umar ra. beliau membuat peraturan baru dengan
membedakan antara para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan para sahabat
yang masuk Islam belakangan. Para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam,
memperoleh bagian yang lebih banyak daripada yang belakangan.
Adapun Ali bin Abi Thalib lebih cenderung pada cara
yang ditempuh oleh Abu Bakar As-Shiddiq ra. dengan suatu pandangan bahwa negara
tidak memberikan tunjangan kepada kaum
muslimin sebagai harga dari agama dan imbalan dari keimanan mereka. Imbalan
agama dan keimanan itu telah tersedia disisi Allah SWT. Mereka diberikan
tunjangan hanyalah untuk melanjutkan kehidupan mereka. Maka berdasarkan
pemikiran itu, Ali bin Abi Thalib tidak memandang perlu membuat perbedaan
antara mereka. Menurut Ali pemberian yang berbeda pada dasarnya akan membuka
peluang bertumpuknya harta pada sebagian individu dan itu dapat menimbulkan
fitnah bagi agama dan merusak keharmonisan hidup.
Di masa khalifah Umar ra. ketegasan dan kewaspadaannya
tidak memberikan peluang untuk bertumpuknya harta dan kekayaan tersebut. Cara
yang ditempuhnya cukup dengan mengawasi para pejabatnya. Bila diketahui ada
diantara mereka kekayaannya yang telah berlimpah, maka ia akan mengirimkan
utusan untuk mengambil sebagian dari miliknya dan menyerahkan kembali ke Baitul
Mal milik kaum muslimin.[14]
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Utsman ra. mereka
menjumpai sikap lunak dan lapang dada dari khalifah. Merekapun mulai tergoda
untuk menikmati kesenangan hidup menurut kehendak hati mereka. Saat itu
sebagian besar kaum muslimin banyak yang telah menjadi orang kaya, memiliki
tanah yang luas dan perdagangan yang berhasil. Kekayaan berlimpah dan banyak
didirikan mahligai dan istana, terutama oleh keluarga besar Bani Umayyah yang
memanfaatkan kesempatan tersebut untuk
mengangkat diri mereka menjadi golongan elites dengan segala keistimewaan dan
pengaruh mereka.
Kemudian datanglah masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib,
dan diputuskannya untuk menempuh cara seperti yang pernah ditempuh oleh Abu Bakar
As-Shiddiq ra. ia yakin betul bahwa tindakannya akan membuat marah beberapa
orang Islam yang telah menyokongnya dan masih diharapkan sokongannya. Akan
tetapi Ali tidak kenal tawar-menawar dalam menjalankan kebenaran. Ia akan tetap
membela dan menegakkan kebenaran itu, walau apapun yang akan terjadi.[15]
Kebijaksanaan berikutnya yang dilakukan oleh Ali pada
masa awal pemerintahannya adalah mengeluarkan keputusan pemberhentian para
pejabat yang diangkat oleh Utsman bin Affan ra. serta menggantinya dengan para
sahabat yang taqwa, istiqamah dan berkemampuan memangku jabatan. Menurut ia,
pejabat yang diangkat oleh Utsman ra. bukanlah orang-orang yang cakap untuk
memangku jabatan. Dan sebenarmya merekalah yang menyebabkan timbulnya fitnah
yang berakhir dengan terbunuhnya khalifah Utsman ra. Dia mengangkat Usman bin
Hanif sebagai Gubernur Basrah menggantikan Ibnu Amir. Qais dikirim ke Mesir
untuk menjadi Gubernur disana mengggantikan Abdullah. Gubernur-gubernur Kufa dan
Siria dimintanya untuk meletakkan jabatan, tetapi Muawiyyah Gubernur Siria
menolak mentaati Ali sebagai khalifah. Oleh karena itu, khalifah Ali harus
menghadapi kesulitan-kesulitan dengan Muawiyyah.[16]
Sebagian para sahabat datang menemui Ali mereka
menyarankan agar Ali mengangguhkan pemecatan para penguasa yang diangkat Utsman
ra. terutama Muawiyyah, sampai mereka menyampaikan bai’at kepadanya dan sampai
pemerintahan menjadi kokoh. Setelah itu, baru memecat siapa saja yang dianggapnya
tidak pantas untuk memegang jabatan. Akan tetapi Ali benar-benar tidak mengenal
tawar-menawar dalam melaksanakan kebenaran. Ia menolak sama sekali untuk
memberikan kesempatan kepada seorangpun diantara mereka untuk tetap dalam
jabatannya walaupun hanya satu hari.[17] Karena
Ali tidak mendengarkan nasehat dari para penasehat dan pendukungnya tersebut,
mereka merasa Ali tidak mengindahkan mereka dan akhirnya Mughirah bin Syu’bah dan
Abdullah bin Abbas meninggalkan Ali. Akibat tindakannya itu, Ali kehilangan
dukungan dari sahabat-sahabat karibnya. Dan yang lebih konyolnya lagi, semua
kepala daerah yang diangkat oleh Ali terpaksa kembali ke Madinah karena tidak
dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya. [18]
Kebijaksanaannya yang lain adalah menarik kembali
tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil
pendapatan kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan
diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.[19]
Berbeda dengan Muawiyyah yang semberono
membagi-bagikan harta Baitul Mal diantara orang-orangnya sendiri. Khalifah Ali
dengan teguh mengikuti prinsip-prinsip yang telah ditetapkan khalifah kedua,
yakni dengan mengembalikan harta masyarakat kepada rakyat. Sikap adil dan jujur
Ali sempat menimbulkan amarah diantara sejumlah pendukungnya sendiri dan
kemudian memihak kepada Muawiyyah. Cobaan seperti itu dan berbagai kesulitan
lainnya yang semakin bertambah, tidak menggoyahkan Ali. Dengan berani dan penuh
percaya diri, ia mempertahankan tradisi yang diajarkan Nabi.
Dalam menjalankan pemerintahan, Ali berusaha bersikap
tidak berat sebelah, pilih kasih atau nepotisme. Ia dikenal sangat keras
terhadap gubernur-gubernurnya dengan secara teratur memantau tindakan-tindakan
mereka. Meskipun pemerintahan Ali banyak dirongrong oleh perang saudara yang
ditimbulkan sebagai akibat atau untuk memperbaiki kekeliruan dalam pemerintahan
sebelumnya, tetapi ia berhasil memecat sebagian besar gubernur yang korupsi dan
mengembalikan kebiksanaan Umar. Ia juga membenahi dan menyusun arsip negara
untuk mengamankan dan menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah, membentuk kantor bendaharawan,
kantor pasukan pengawal dan mengorganisir polisi dan menetapkan tugas-tugas
mereka.[20]
D.
Perang Jamal
Tidak lama setelah dinobatkan menjadi khalifah, Ali
dituntut untuk menangani pemberontakan Thalhah dan Zubair. Thalhah dan Zubair
mula-mula menerima Ali sebagai khalifah. Belakangan mereka tidak mengakuinya
karena Ali tidak menyetujui tuntutan mereka bahwa dia harus segera menghukum
para pembunuh khalifah Utsman. Tuntutan mereka adalah tuntutan yang tidak
mungkin. Pertama, tugas khalifah Ali yang harus dilaksanakannya adalah
memulihkan ketertiban dan mengonsolidasikan kedudukannya di dalam imperium yang
dilanda kerusuhan dan kekacauan. Kedua, menghukum para pembunuh itu bukan tugas
yang mudah. Khalifah Utsman tidak dibunuh oleh beberapa orang sehingga dapat
dengan mudah dipastikan dan dihukum. Banyak orang dari Mesir, Irak dan Arabia
secara lansung terlibat dengan pembunuhan itu. Karenanya, untuk menghukum para
pembunuh pada waktu kacau dan sulit akan meruntuhkan khalifah dan kekhalifahan.
Karena khalifah tidak menerima tuntutan mereka,
Thalhah dan Zubair menarik sumpah setia mereka dan pergi menuju Basrah karena
mereka mengharapkan akan memperoleh banyak pengikut di kota itu. Dalam
perjalanan mereka bertemu dengan Aisyah yang sedang dalam perjalanan pulang
dari ibadah haji. Ketika menerima kabar tentang pembunuhan khalifah Utsman, dia
sangat terkejut. Setelah dia mendengar bahwa khalifah Ali tidak menyetujui
menghukum para pembunuh itu, dia bergabung dengan Thalhah dan Zubair dan kembali
ke Mekkah bersama mereka.[21] Di
Mekkah juga telah berkumpul tokoh-tokoh pemerintah dimasa Utsman, seperti
Marwan bin Al-Hakam (menantu dan sekretaris Utsman) dan Abdullah bin Amir. Mereka
semua bergabung dengan Aisyah.[22] Setelah
itu mereka pergi dari Mekkah ke Basrah dan menawan Gubernur Ibnu Hanif.
Kelompok Ali dikalahkan dan Basrah jatuh ketangan Thalhah dan Zubair. Di
Basrah, Aisyah didukung oleh 20.000 orang karena Abdullah bin Amr yang kini
bergabung dengan Aisyah adalah bekas gubernur Basrah yang dipecat oleh Ali. Sementara
Ali berangkat ke Kufah dan didukung oleh para pemberontak yang telah membunuh
Utsman. Di Kufah, Ali dapat mengumpulkan pasukan sebanyak 10.000 orang. [23]
Sebenarnya baik Aisyah maupun Ali sama-sama ingin
menyelesaikan permasalahan diantara mereka dengan cara damai, tetapi baik pihak
Aisyah maupun pihak Ali sendiri ada orang-orang yang memiliki kepentingan
pribadi di dalamnya, seperti Abdullah bin Zubair yang menginginkan jabatan
kekhalifahan dari pihak Aisyah dan memanfaatkan Aisyah dalam permasalahan ini. Begitu
juga dari pihak Ali terdapat orang-orang munafik (pengikut Abdullah bin Saba’)
yang tidak menginginkan antara Aisyah dan Ali berdamai.
Maka pertempuranpun tidak dapat dielakkan. Peristiwa
itu dikenal dengan Jangi Jamal atau perang Unta karena Aisyah menunggang
unta saat berperang. Bakat kemiliteran Ali yang ulung segera berhasil
menundukkan para pemberontak. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika mereka
melarikan diri. Sebanyak 20.000 orang Islam gugur di dalam pertempuran itu. Pertempuran
inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang memperoleh
kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih
berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami
kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul
Mu’minin. Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan
khusus untuk Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali
ke Madinah yang dikawal oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar.
Setelah pertempuran itu khalifah memantapkan kekuasaannya di Basrah. Kemudian
dia berangkat ke Kufah, yang sejak itu menjadi ibu kotanya. Dia bermaksud
menangani Muawiyyah dari Kufah.[24]
Mengutip pendapat Ahmad salabi sebagaimana yang
dipaparkan dalam buku Dr. Syamruddin Nasution, M.Ag[25] dipahami
bahwa perang jamal ini terjadi karena dua faktor, yang pertama peperangan ini
disulut oleh kebencian Aisyah, Thalhah, Zubair terhadap Ali dan ditambah dengan
keinginan Abdullah bin Zubair untuk menjadi khalifah dimana dalam hal ini
Aisyah dijadikan jalan dalam mencapai tujuannya tersebut. Kedua, lemahnya
kepemimpinan Ali terhadap pengikutnya sehingga mereka tidak berpihak sepenuhnya
kepada Ali karena pendukung Ali sendiri adalah dari kalangan pemberontak.
E.
Perang Shiffin
Ketua bani Umayyah, yaitu Muawiyyah bin Abu Sofyan
yang merupakan Gubernur Siria, mengharapkan kekhalifahan dan memanfaatkan
keadaaan yang ditimbulkan oleh pembunuhan Ustman itu untuk kepentingannya dirinya.
Setelah pembunuhan Ustman, banyak orang Bani Umayyah yang pergi ke Siria dan bergabung
dengan Muawiyyah sehingga pada waktu penobatan Ali sebagai khalifah, Muawiyyah
telah memimpin perhimpunan keluarga-keluarga Umayyah yang berjumlah
beribu-ribu. Hal ini sangat memperkuat kekuasaan ketua Umayyah dalam menentang Khalifah
Ali.
Lebih jauh lagi, Muawiyyah menguasai seluruh sumber
yang ada di Provinsi yang luas dan subur itu. Dia juga mengumpulkan orang-orang
Arab Siria sebagai pendukungnya. Orang-orang ini menganggap bahwa dengan
mendukung tujuan Muawiyyah, mereka akan memajukan kepentingan mereka sendiri.
Oleh karena itu, Muawiyyah mempunyai cukup orang dan uang untuk memperebutkan
kekhalifahan dengan Ali.
Akhirnya Muawiyyah yang cerdik itu memanfaatkan pembunuhan
Khalifah Utsman untuk menjatuhkan nama Khalifah Ali di mata Umat Islam. Dia
menuntut Ali menemukan dan menghukum para pembunuh, kalau tidak dia harus
menerima sebagai pembunuhnya.[26] Selain
itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali. Hal ini bisa dilihat dari situasi
kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantungkan jubah Utsman yang berlumuran
darah bersama potongan jari janda almarhum di mimbar masjid. Sehingga hal itu
menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan adanya peristiwa tersebut,
pihak umum berpendapat bahwa Ali yang bertanggungjawab atas pembunuhan Utsman. Pada
akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria
Utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus sungai
tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyah dan pihak Mu’awiyah tidak mengijinkan
pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Ali mengirim utusan pada
Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak.
Akhirnya Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan
dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak
Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.[27]
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali
mendirikan garis pertahanan didataran Shiffin, dan Ali masih berharap dapat
mencapai penyelesaian dengan cara damai. Ali mengirim utusan dibawah pimpinan
panglima Basyir bin Amru untuk melangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyyah.
Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai persetujuan yakni menghentikan
perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi jawaban pada
akhir bulan Muharram. Sebenarnya hal ini sangat merugikan Ali karena akan
mengurangi semangat tempur tentaranya dan pihak lawan bisa memperbesar
kekuatannya. Namun sebagai khalifah, Ali terikat oleh ketetapan firman Allah
surat al-Hujurat ayat 9 dan surat an-Nisa’ ayat 59. Dengan mengenali
prinsip-prinsip hukum Islam itu, maka dapat dipahami mengapa khalifah Ali
menempuh jalan damai dahulu. Jawaban terakhir dari pihak Mu’awiyah menolak
untuk mengangkat bai’at Ali dan sebaliknya menuntut Ali mengangkat bai’at
terhadap dirinya. Maka bulan Saffar 37 H/685 M terjadilah perang siffin dengan
kekuatan 95.000 orang dari pihak Ali dan 85.000 orang dari pihak Mu’awiyah.
Pada saat perang, Umar bin Yasir (orang pertama yang masuk Islam di kota
Mekkah) tewas. Tewasnya tokoh yang sangat dikultuskan ini membangkitkan semangat
tempur yang tak terkirakan pada pihak pasukan Ali, sehingga banyak korban pada
pihak Mu’awiyah dan panglima Asytar al-Nahki berhasil menebas pemegang
panji-panji perang pihak Mu’awiyah dan merebutnya. Perang itu menelan korban
sebanyak 70.000 orang. Peperangan ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase).[28]
F.
Arbitrase
Dalam pertempuran Shiffin, kaum muslimin hampir saja
mendapatkan kemenangan. Akan tetapi, Muawiyyah setelah merasa dirinya akan
mengalami kekalahan di medan laga, ia lantas mengalihkan perjuangan ke medan
lain, yang mana Ali tidak mungkin menandinginya, yaitu medan siasat dan tipu
daya. Muawiyyah didampingi pula oleh ahli siasat Arab yang lihai, yaitu Amru
Ibnu ‘Ash. Muawiyyah berseru kepadanya: “Ya Ibnu ‘Ash, kita hampir binasa, kini
cobalah gunakan kecerdikanmu!” Amru lalu menasehatkan supaya prajurit
mengangkat mushaf-mushaf Al-Qur’an di atas ujung tombak mereka, sambil berseru
kepada musuh: “Kami ingin bertahkim kepada Kitab Allah.”
Ali telah merasa bahwa itu hanyalah tipu muslihat musuh.
Akan tetapi, sayangnya pedang-pedang tentaranya sudah tumpul, seakan-akan
mereka telah menanti-nantikan seruan itu dengan kesabaran yang hampir habis.
Karena itu, banyak diantara mereka yang mundur dan terus mengabulkan keinginan
musuh. Ali berusaha mengajak mereka untuk melanjutkan pertempuran itu, hingga
berhasil mendapatkan kemenangan yang hampir dicapai. Akan tetapi, kewibawaan Ali
dianggap lemah. Oleh sebab itu, mereka tidak mau tunduk kepadanya dan malah
tetap bertekad untuk menghentikan pertempuran itu. [29]
Mereka yang membangkang terhadap Ali berada di bawah
pimpinan Al-Asy’ats ibnu Qais al-Kindi, Mus’ir ibnu Fidki at-Tamini dan Zaid
ibnu Hushein at-Thai. mereka berkata kepada Ali: “Mereka itu mengajak kita
kepada kitab Allah SWT, tetapi kamu mengajak kita untuk menggunakan pedang. Ali
menjawab: “Aku lebih tahu tentang kitab Allah SWT. Bergabunglah kamu kembali
kepada teman-temanmu yang lain.!
Ali mencoba memalingkan mereka dari keinginan mereka
atau setidak-tidaknya menangguhkan untuk mengabulkan tuntutan mereka. Ini
bermaksud untuk memberikan kesempatan kepada panglimanya Al-Asytar untuk
mendapatkan kemenangan atas pasukan Muawiyyah, sebab dihadapan Al-Asytar hanya
tinggal segelintir saja prajurit-prajurit Syam yang hampir mengalami
kehancuran. Tetapi Al-Asy’ats berkata kepada Ali: “Engkau harus memerintahkan
kepada pasukan untuk kembali dan menghentikan pertempuran, atau kami akan
melakukan terhadapmu apa yang telah kami lakukan terhadap Utsman”.
Ali mengirimkan utusan kepada Al-Asytar memintanya
datang, tetapi Al-Asytar menjawab: “Janganlah aku ditarik saat ini dari
tempatku ini. Aku berharap bahwa pada saat ini akan dapat merebut kemenangan,
sebab itu janganlah memintaku untuk segera datang!”.
Tatkala pasukan Ali mengetahui jawaban Al-Asytar ini,
mereka makin bergolak dan menuduh Ali telah menghasut Al-Asytar untuk
meneruskan pertempuran itu. Kekacauan semakin memuncak, sehingga Ali terpakasa
mengirimkan kembali utusannnya kepada Al-Asytar. Kepada utusan itu Ali berkata:
“ Katakanlah kepada Al-Asytar, bahwa dia harus datang kesini sebab kekacauan
telah terjadi”.
Utusan itu adalah Yazid ibnu Hani’. Ia kembali
menyampaikan pesan itu kepada Al-Asytar. Ketika dia merasa Al-Asytar ragu-ragu,
berkatalah Yazid: “Apakah engkau ingin mendapatkan kemenangan disini, padahal
di sana Amirul mukiminin dibunuh orang atau menyerah? Al-Asytar menjawab:
“Tidak, demi Allah, Maha suci Allah!” kata Yazid: ” Nah, demikianlah. Mereka
mengancamnya untuk dibunuh atau diserahkan kepada orang-orang Syam, jika engkau
tidak mau kembali”. Maka kembalilah Al-Asytar dan pertempuran itu dihentikan. [30]
Kemudian Al-Asy’ats minta izin kepada Ali untuk
mendatangi Muawiyyah guna menanyakan apakah yang dimaksud dengan mengangkat
mushaf-mushaf tersebut. Ali memberinya izin. Tatkala Al-Asy’ats bertemu dengan Muawiyyah,
Muawiyyah berkata: “Marilah kita, kami dan kamu kembali kepada apa yang
diperintahkan Allah SWT. di dalam kitab-Nya. Kirimlah seseorang yang kamu sukai
sebagai utusan dan kamipun demikian. Kemudian kita minta kepada mereka supaya
mereka menjalankan apa yang tersebut di dalam kitab Allah dan janganlah mereka
melanggarnya. Kemudian kita akan mengikuti apa-apa yang mereka sepakati
berdua.”
Dengan demikian, mulailah babak baru tentang
perselisihan yang timbul dalam kalangan tentara Ali. Orang-orang Syam sepakat
untuk memilih Amru ibnu Ash sebagai utusan mereka. Amru adalah ahli siasat Arab
yang terkenal. Ali ingin mengajukan Abdullah ibnu Abbas, tetapi kawan-kawannya
tidak menyetujui pilihan itu dan mereka berkata kepada Ali ra: “Ibnu Abbas
adalah kerabatmu yang terdekat, dia amat ingin menjaga kepentinganmu.”[31]
Kemudian Ali mengajukan Al-Asytar, tetapi mereka juga tidak menyetujuinya.
Suatu yang janggal bahwa mereka tidak membolehkan Ali
untuk memilih seseorang yang mempunyai hubungan erat dengannya. Dan mereka
tetap bersikeras untuk memilih sesorang yang bebas (netral). Tetapi mereka
tidak mau bersikap semacam itu terhadap Muawiyyah. Mereka membiarkan Muawiyyah
memilih seseorang yang mempunyai sifat-sifat yang menyebabkan mempunyai
keunggulan mutlak terhadap pihak lawannya. Amru adalah kerabat terdekat
Muawiyyah, serta mempunyai kepentingan yang sama. Selain itu, dia adalah salah
seorang dari ahli-ahli siasat Arab yang amat cerdik.[32] Sayang
sekali mengapa Ali menerima saja perlakuan yang seperti itu, padahal ia adalah
seorang khalifah.
Bagaimanapun juga, akhirnya sebagian besar dari
pengikut Ali mengajukan Abu Musa al-Asy’ari. Maka bekatalah Ali kepada mereka:
“Pada mulanya kamu telah mendurhakai aku. Sekarang janganlah aku didurhakai
lagi. Bagiku, Abu Musa ini tidaklah dapat dipercayai. Dia pernah meninggalkan
aku, dan menyuruh orang-orang lain untuk meninggalkan aku. Akan tetapi,
orang-orang Irak itu tetap juga mempertahankan pendapat mereka, hingga akhirnya
Ali terpaksa menyerah menerima Abu Musa sebagai utusan.
Kedua pihak menetapkan Daumatul Jandal sebagai tempat
perdamaian, dengan ketentuan bahwa tahkim tersebut akan dilaksanakan dalam
bulan Ramadhan pada tahun itu juga. Setelah tercapai kata sepakat untuk
bertahkim, maka kembalilah pasukan-pasukan kedua pihak kepangkalannya
masing-masing. Akan tetapi, kepulangan pasukan Muawiyyah dapat dipandang
sebagai kepulangan yang memperoleh kemenangan karena mereka telah terhindar
dari kekalahan dan kehancuran dan juga karena kokohnya persatuan mereka. Sebaliknya,
kepulangan tentara Ali adalah pertanda bagi kekalahan yang tidak dapat
dihindarkan, sebab mereka pulang dengan keadaan bercekcok, berselisih pendapat,
dan saling menyalahkan.[33]
Dalam perdamaian yang akan diadakan itu, pihak Ali
diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari seorang tua yang lurus hati, dan pihak
Mu’awiyah diwakili oleh ‘Amru bin al-‘Ash seorang ahli siasat Arab yang
terkenal licin.
Setelah datang waktu tahkim sesuai dengan perjanjian,
para wali dari kedua belah pihak berkumpul di Daumatul Jandal. Dengan tipu daya
yang licik ‘Amru bin al-‘Ash dapat mengalahkan Abu Musa yang lurus hati itu
dalam persidangan majlis tahkim. ‘Amru bin al-‘Ash menerangkan kepada Abu Musa
bahwa untuk menjadi dasar perundingan, maka Ali dan Mu’awiyah diturunkan dari
pangkat Khalifah. Sesudah itu soal Khalifah diserahkan kepada ummat Islam dan
kepada mereka diberikan kemerdekaan seluas-luasnya tentang siapa yang akan
mereka pilih menjadi Khalifah.
Keterangan ‘Amru bin al-‘Ash ini diterima oleh Abu
Musa dengan sejujur hatinya untuk menjadi dasar perundingan. Dihari persidangan
di Daumatul Jandal itu (suatu tempat antara Irak dan Syam) diharapan
beribu-ribu ummat Islam, maka tertipulah Abu Musa oleh kelicikan politik ‘Amru
bin al-‘Ash.
Karena menghormati ketinggian umur dan derajatnya,
‘Amru bin al-‘Ash meminta kepada Abu Musa untuk terlebih dahulu berdiri diatas
mimbar, menerangkan dasar perundingan yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak. Dengan ikhlas dan jujur hati Abu Musa naik ke atas mimbar, lalu
berpidato menerangkan bahwa untuk kemaslahatan ummat Islam dan ‘Amru bin al-‘Ash
telah sepakat untuk memberhentikan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan Khalifah.
Tentang pengangkatan Khalifah yang baru diserahkan sepenuhnya kepada
permusyawaratan ummat Islam. Saya sebagai wakil dari pihak Ali dengan ikhlas
dan jujur hati menurunkan Ali dari kursi Khalifahnya”.
Kemudian naik pula ‘Amru bin al-’Ash lalu berkata
menerangkan, bahwa ia menerima dan menguatkan keberhentian Ali itu, dan
menetapkan Mu’awiyah dalam pangkatnya sebagai Amirul Mu’minin.
Dari fakta sejarah di atas, diketahui bahwa dari pihak
Muawiyyah tidak ada maksud menyelesaikan perselisihan mereka dengan Ali melalui
tahkim itu. Tahkim bagi mereka hanya sekedar menghindar dari kekalahan waktu
perang Shiffin. Termasuk menuntut bela atas kematian Utsman pun hanya kedok
belaka. Sebenarnya Muawiyyah ingin menjadi khalifah.[34]
Akan tetapi hal itu tidak dapat menyelesaikan masalah,
bahkan menyebabkan terpecahnya umat Islam menjadi tiga golongan. Diantara
ketiga golongan itu adalah golongan Ali, pengikut Mu’awiyah dan Khawarij
(orang-orang yang keluar dari golongan Ali). Akibatnya, diujung masa
pemerintahan Ali, umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik.
G.
Munculnya Kaum Khawarij
Dalam perjalanan pulang
ke Kufah, anggota pasukan Ali yang tadinya mengancam Ali supaya menghentikan
perang dan menerima tahkim berubah pendirian. Kini mereka berpendapat bahwa
menerima tahkim adalah salah karena hak mengadili hanya ada ditangan Allah SWT.
Atas dasar itu mereka mengusulkan agar persetujuan mengadakan tahlim dibatalkan
dan ditolak Ali.
Ketika diingatkan bahwa
merekalah yang memaksa Ali menerima tahkim, mereka menjawab “Kami telah keliru,
tetapi mengapa anda mengikuti kekeliruan kami. Sebagai seorang khalifah anda
mestinya mempunyai pandangan jauh ke depan dan pikiran yang mendalam”. [35]
Asal mulanya kaum
Khawarij adalah orang-orang yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi,
pada akhirnya mereka membencinya karena dianggap lemah dalam menegakkan
kebenaran, mau menerima tahkim yang sangat mengecewakan, sebagaimana mereka
juga membenci Muawiyyah karena melawan Ali sebagai khalifah yang sah.[36]
Sebagai oposisi terhadap
kekuasaan yang ada, Khawarij mengeluarkan beberapa statemen yang menuduh
orang-orang yang terlibat tahkim sebagai orang-orang kafir. Khawarij
berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib juga telah menyeleweng dari ajaran Islam
karena melakukan tahkim. Ali bin Abi Thalib dalam pandangan Khawarij adalah
murtad dan telah kafir. Disamping itu, politisi lain yang dipandang kafir oleh
Khawarij adalah Muawiyyah, Amr bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari dan semua orang
yang menerima tahkim.[37]
Setelah terjadi tahkim,
sebagian tentara Ali tidak terima dengan sikap Ali yang menerima arbitrase. Karena
itulah mereka keluar dari pihak Ali yang selanjutnya dikenal dengan nama
Khawarij. Pihak Khawarij berkesimpulan bahwa Mu’awiyah dan Amru bin Ash beserta
pengikutnya adalah kelompok kufur karena telah mempermainkan nama Allah SWT.
dan Al-Qur’an dalam perang Shiffin, maka mereka wajib diperangi.
Golongan Khawarij bermarkas di Nahrawan dan benar-benar
merepotkan Ali, sehingga memberikan kesempatan pada pihak Mu’awayah untuk
memperkuat dan memperluas kekuasannya sampai mampu merebut Mesir. Akibatnya
sangat fatal pada pihak Ali, karena menyebabkan tentara Ali semakin lemah,
sementara kekuatan Mua’wiyah bertambah besar dengan keberhasilannya dalam mengambil
posisi Mesir, merampas sumber-sumber kemakmuran dan suplai ekonomi dari pihak
Ali.[38]
H.
Ali bin Abi Thalib Wafat
Penyelesaian melalui kompromi dengan Muawiyyah
merupakan kegagalan bagi Ali. Berbagai kerusuhan harus dihadapi Ali sejak
penobatannya menjadi khalifah, terutama disebabkan oleh kegagalannya menindas
pemberontakan Muawiyyah. Pemberontakan dari Thalhah dan Zubair memperlemah
kedudukan Ali dan memperkuat kekuasaan Muawiyyah. Ditambah kaum Khawarij yang terus
menerus menyibukkannya. Namun sebagai khalifah, Ali harus menangani pemberontakan-pemberontakan
ini dan memulihkan ketertiban di dalam imperium.
Dalam tenaga manusia, keuangan, dan sumber-sumber
kekayaan, Muawiyyah jauh lebih kuat dibandingkan dengan khalifah Ali yang tidak
memiliki sumber-sumber kekayaan memadai dan memimpin suatu kaum yang kesetiaannya
berubah-ubah dan meragukan. Berbeda dengan Muawiyyah yang memiliki dukungan tangguh
dari keluarganya. Bani Umayyah maupun orang-orang Siria dengan kuat berada
dibelakangnya dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tidak ada
habisnya.
Ali hanyalah seorang jenderal dan seorang prajurit
yang gagah berani, sementara Muawiyyah adalah seorang diplomat yang licik dan
seorang politikus yang pintar. Dia memainkan kelicikan apabila keberanian
bertarung tidak berhasil. Karena gagal dalam menggunakan pedang, maka Muawiyyah
dan sekutunya menipu dan mengalahkan Ali dengan permainan kecerdikan dan
kelicikan dalam perang Shiffin. [39] Akibat
arbitrase yang terjadi antara Ali dan Muawiyyah muncul golongan Khawarij yang
menentang keputusan tersebut, sehingga golongan
ini menganggap darah orang-orang yang terlibat tahkim halal dibunuh.
Kemudian tiga orang dari kelompok Khawarij telah
mengadakan permufakatan jahat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah dan ‘Amru bin
al-’Ash. Menurut mereka orang yang bertiga inilah yang menjadi pangkal fitnah
yang menimbulkan peperangan sesama ummat Islam. Tiga orang Khawarij itu ialah: Abdurrahman
bin Muljam yang akan membunuh Ali di Kufah, Hujaj bin Abdullah membunuh
Muawiyyah di Damaskus, dan Amr bin Bakar bertugas membunuh Amr bin Ash di
Mesir.
Hujaj tidak berhasil membunuh Muawiyyah karena dijaga
ketat oleh pengawal. Sedangkan Amr bin Bakar tanpa sengaja membunuh Kharijah
bin Habitat yang dikiranya Amr bin Ash. Saat itu Amr bin Ash sedang sakit,
sehingga yang menggantikannya sebagai imam adalah Kharijah. Akibat perbuatannya
membunuh Kharijah dan bermaksud menghabisi Amr bin Ash, maka dia dihukum bunuh.
Sedangkan Abdurrahman bin Muljam berhasil membunuh Ali yang saat itu tengah
menuju Mesjid. Seperti biasanya, sebelum shalat subuh dimulai Ali membangunkan
orang-orang yang masi lelap tidur. Pada saat itulah Muljam bersama temannya
keluar dari tempat persembunyian dan menghantamkan pedang mereka kearah Ali
hingga tembus keselaput otaknya, sedangkan pedang kawannya meleset menghantam
tembok. Ali jatuh tesungkur ketanah.
Abdurrahman bin Muljam tertangkap basah, sedangkan
temannya mati dibunuh jamaah ketika ia berusaha melarikan diri. Kemudian Ali
dibawa kerumahnya dan masih dapat bertahan hidup selama dua hari satu malam.
Sebelum wafat ia berpesan kepada keluarga dan orang disekitarnya supaya
memperlakukan pembunuhnya dengan baik dan memberinya makan yang baik pula.
Apabila telah sembuh, ia sendiri yang akan mempertimbangkan tindakan apa yang
hendak diambil, memberi maaf atau menjatuhkan hukuman qishas (setimpal).[40]
Akhirnya beliau wafat pada tanggal 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun.[41]
Mengenai pusara Ali sebagian besar umat Islam meyakini
bahwa jenazah beliau dimakamkan di Najaf, Irak. Tempat itu sekarang ditandai
dengan sebuah monumen berupa mesjid besar, indah dan berhiaskan kubah-kubah
berwarna keemas-emasan. Beratus-ratus ribu kaum muslimin tiap tahun berziarah
ketempat itu, khususnya para penganut mazhab Syi’ah.[42]
Dengan wafatnya khalifah keempat ini, maka berakhirlah
pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Kemudian Muawiyyah mengubah kekhalihan menjadi
kerajaan.
[1]Ibnu Katsir, Al-Bidayah
Wan-Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
[2]Al-Hamid
Al-Husaini, Imamul Muhtadin : Ali bin Abi Thalib.
[3]Ibid.
[4]Bastoni, dkk, 101
Sahabat Nabi.
[5]Jamil Ahmad, Seratus
Muslim Terkemuka.
[6]Syed
Mahmudunasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya.
[7]Ibnu Katsir, op.cit.
[8]Dedi Supriyadi,
Sejarah Peradaban Islam.
[9]Syamruddin
Nasution, Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik,Cetakan ke-II.
[10]Dedi Supriyadi,
op.cit
[11]Syamruddin
Nasution, Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik, Cetakan ke-III.
[12] Syamruddin
Nasution, Arbitrase Menjadi Penyebab Timbulnya Sekte-Sekte Dalam Islam.
[13]Ibnu Katsir,
op.cit.
[15]Ibid.
[16]Syed
Mahmudunasir, loc.cit.
[17]Khalid M
Khalid, Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dari Karakteristik Perhidup Khalifah
Rasulullah.
[18]Syamruddin
Nasution, Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik, Cetakan ke-III.
[19]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam.
[20]Jamil Ahmad, op.cit.
[21]Syed
Mahmudunasir, op.cit.
[22]Syamruddin
Nasution, Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik, Cetakan ke-III,
op.cit.
[24]Syed
Mahmudunasir, op.cit.
[25]Syamruddin
Nasution, Sejarah Peradaban Islam Masa Klasik, Cetakan ke-III,
op.cit.
[26]Syed
Mahmudunasir, op.cit.
[27]http://ruruls4y.wordpress.com/2012/04/13/khalifah-Ali-bin-Abi-Thalib
[29]Sahilun A.
Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran dan Perkembangannya.
[30]Ibid.
[34]Syamuddin
Nasution, op.cit.
[35]Ibid.
[36]Sahilun A.
Nasir, op.cit.
[37]Dedi Supriyadi,
op.cit.
[38]http://ruruls4y.wordpress.com/2012/04/13/khalifah-Ali-bin-Abi-Thalib
[39]Syed
Mahmudunasir, op.cit.
[40]Al-Hamid
Al-Husaini, op.cit.
[41]Hepi Andi
Bastoni, 101 Sahabat Nabi.
[42]Al-Hamid
Al-Husaini, op.cit.
0 komentar